Category Archives: Cerpen

Kakakku Tersayang

Perawat itu sedang membungkuk mengambil mangkuk rumah sakit yang jatuh sekaligus membersihkan bubur encer yang tercecer di lantai dengan agak kesal ketika seorang wanita muda berpenampilan menarik datang. Si perawat yang mengoceh sendiri langsung terdiam begitu ia menyadari kehadiran tamu pasien ‘nakal’-nya yang menolak untuk makan bubur sesendok pun. Dia lagi… pikirnya. Namun bertentangan dengan suasana hatinya yang buruk, ia melempar senyum yang kelihatannya cukup tulus. “Sore, Nyonya.”

“Sore,” balas wanita itu dengan tata bicara yang halus dan sopan. “Dia tidak mau makan apa-apa lagi ya, Suster?” Ia mengernyit penuh rasa bersalah seakan merasa telah merepotkan si perawat.

Perawat bertubuh gempal itu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, “Dia memang selalu begitu setiap hari. Padahal kukira setelah seminggu di sini, kami bisa melepas infusnya dan membiarkan dia makan dengan normal. Ternyata…”

“Ya… aku tahu. Terima kasih. Bisa tolong ambilkan bubur lagi? Saya akan mencoba membujuknya makan,” kata wanita muda itu sambil melepas kacamatanya dan memijat dahinya. Matanya terlihat begitu letih dan kerutan di bawah lekukan matanya menunjukkan bahwa ia sudah tidak muda lagi. Meskipun kedua bola matanya amat indah namun cahayanya begitu redup, tertutup selaput-selaput duka dan sisa air mata.

“Tentu.” Perawat itu pun bergegas pergi meninggalkan kamar. Sebetulnya ia tidak terlalu peduli dengan pasien yang dirawat inap di kamar itu sebab perilakunya benar-benar menyebalkan. Tak pernah merespon walau sekeras apa pun orang lain berusaha menarik secuil perhatiannya. Akan tetapi ia merasa iba pada sang tamu yang terus-menerus datang dan tak pernah putus asa mencoba menyadarkan sang kerabat yang terganggu mentalnya.

Wanita muda yang hanya dikenal lewat penampilan berkelas dan harum bau parfumnya yang lembut oleh para personel rumah sakit jiwa yang terpencil di pinggiran kota itu selalu datang mengunjungi kamar 18A di jam yang sama setiap harinya. Sejak hari pasien nomor 18A dirawat di sana, satu-satunya tamu yang datang hanyalah wanita itu, tak ada yang lain. Semua sudah hafal dengan kebiasaan si tamu setia. Selalu datang masih dalam setelan kerja dan sepatu berhak 7 senti dengan model sederhana meski warnanya disesuaikan. Dan ia selalu minta ditinggal berdua saja dengan sang pasien. Ia bisa tinggal di kamar itu lama sekali, kadang sepanjang malam, kadang sampai fajar menyingsing. Tak ada yang tahu apa yang ia lakukan di sana. Para perawat yang kebetulan lewat hanya dapat mendengarnya bercerita dan berbicara namun tak pernah sekali pun mendengar suara si pasien menanggapi kata-katanya.

“Rena, ini aku, Mia. Gimana kabarmu hari ini?” tanya wanita itu seraya berlutut di kaki si pasien, seorang wanita berambut panjang yang sedang menunduk di kursi rotan yang menghadap ke jendela kamar. Sinar kemerahan sang mentari yang hampir tenggelam menyinari sosok yang terbalut dalam seragam putih rumah sakit itu. Seperti biasa memang tidak ada tanggapan apa-apa. Mia pun tidak berharap banyak. “Aku buka jendelanya, ya? Anginnya segar, kok, kamu pasti suka.”

Bahkan ketika semilir angin senja yang membawa aroma bunga-bunga padang masuk menerobos di antara tirai yang terbuka lebar dan menebak rambutnya yang kusut, Rena tidak bergerak.

Mia duduk di kusen jendela, menikmati hembusan angin di punggungnya, melemaskan otot-ototnya yang kaku karena perjalanan 2 jam yang telah ditempuhnya untuk dapat tiba di situ. Namun perhatiannya tidak terarah pada keindahan langit yang berangsur gelap. Dengan tatapannya yang prihatin diperhatikannya Rena, sang kakak yang dulu pernah hidup normal bersamanya.

Ya, Tuhan… Apa yang telah kulakukan? ratapnya dalam hati. Melihat keadaan Rena sekarang membuat hatinya seakan teriris-iris. Inikah Rena Wijaya yang selalu berbagi suka-duka dengannya? Rena yang “hidup” bukan yang hanya duduk diam dengan kepala tertunduk, yang bahkan tidak menyahut bila diajak berbicara. Wanita yang dapat dilihat Mia sekarang hanyalah Rena tanpa jiwa.

Mia beranjak dari jendela dan kembali berlutut di depan Rena. Perlahan disibaknya rambut Rena yang terjuntai tak beraturan menutupi wajahnya. Masih segar dalam ingatan Mia betapa halus dan indahnya rambut Rena dulu. Ia meraih sebuah sisir dari dalam tas tangannya kemudian mulai menyisir rambut kakaknya yang kini sudah kusam dan kusut. “Dari dulu aku selalu mengagumi rambutmu, kau ingat? Papa-Mama juga bilang kalau rambutmu adalah yang paling bagus di seluruh keluarga. Aku selalu berharap memiliki rambut sepertimu dan kau akan selalu mengejekku dengan sebutan ‘si sirik’ bila aku mengatakannya.” Mia pun tertawa mengenang masa-masa bahagia yang telah ia lalui bersama Rena.

Ketika kedua orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan mobil belasan tahun silam, Mia hanya punya Rena. Dan Rena sebagai anak sulung tidak pernah sekali pun melalaikan tugasnya menjaga sang adik. Rena selalu bersikap protektif dan Mia juga selalu menurut sampai seorang pria bernama Yos masuk ke kehidupan mereka…

Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Mia. Bubur baru sudah datang. Perawat yang tadi masuk lalu menaruh nampan berisi semangkuk bubur hangat dan sepoci teh manis di atas meja tempat obat yang terletak di sisi ranjang. “Saya tinggal di sini, ya?” ucapnya.

“Oh iya, terima kasih banyak lho, Suster,” balas Mia sambil tersenyum.

Perawat itu membalas senyumnya sesaat sebelum ia keluar.

Mia mengambil bubur dari atas nampan, menggeser sebuah kursi lipat ke sebelah Rena dan duduk di sana. “Nah, ayo kita makan. Aku sambil cerita, deh.” Diambilnya sesendok bubur dan ditiupnya agar sedikit mendingin lalu disodorkannya ke mulut Rena, berharap kakaknya itu mau membuka mulut dan makan walau hanya sedikit.

“Ayo dong, Ren, makan,” bujuk Mia. “Kamu ingat si Anggi nggak? Kamu yang bilang lho kalau malas makan jadinya bisa ceking kayak dia. Hayo… masa kamu mau jadi ceking begitu? Ayo dong, makan.”

Mulut Rena tak kunjung terbuka. Pandangan matanya pun tetap kosong.

“Ren…” panggil Mia dengan suara yang mulai serak. Tangannya yang memegang sendok bergetar namun ia tetap mempertahankan posisinya di depan mulut Rena yang terkatup rapat. “Ren, tolonglah… kau harus makan. Sedikiiit saja, ya?”

Setelah menunggu selama lebih kurang lima menit, Mia tahu respon yang diharapkannya tak akan muncul. Matanya berkaca-kaca dan walaupun ia bergerak cepat, menaruh sendok kembali ke mangkuk bubur lalu menyeka matanya dengan punggung tangannya, setetes air matanya masih sempat terjatuh.

“Bagaimana aku bisa mengembalikanmu seperti sedia kala, Ren? Tolong bantu aku. Aku tidak bisa melakukannya sendirian.” Napas Mia semakin sesak begitu teringat bahwa ia-lah yang menyebabkan Rena menjadi seperti sekarang. Ya, ia dan Yos yang membuat kakaknya menderita seperti sekarang.

Tadinya semua baik-baik saja. Kakak-adik yang saling menyayangi. Siapa yang menduga kalau seorang bajingan macam Yos dapat merusak hubungan yang mereka miliki? Tapi itu terjadi dan kini Mia hanya dapat menyesal.

Mia masih ingat saat pertama kali Rena pulang dan mengenalkan teman kantornya yang baru, seorang pria tampan dengan senyum yang menawan. Namanya Yos. Hanya tiga huruf, begitu singkat namun tidaklah singkat kesan yang ditinggalkannya pada Mia. Rena sudah lama menyukai Yos, Mia juga tahu, siapa yang tidak? Rena selalu membicarakannya setiap waktu. Tapi Mia sama sekali tidak dapat membendung perasaannya apalagi begitu mengetahui Yos menanggapinya.

“Aku memang bukan adik yang baik. Maafkan aku,” bisik Mia.

Seharusnya Mia mundur. Toh, tidak salah mengalah sekali ini saja pada kakaknya. Rena sudah sering mengalah dalam banyak hal: sekolah, pekerjaan… Tapi Mia memang anak egois, manja dan terbiasa hidup enak. Beberapa bulan kemudian, Yos mengaku kalau ia lebih memilih Mia daripada Rena. Walau pada awalnya ia tertarik pada Rena yang cantik, ia mengaku pada Mia kalau setelah dikenalkan dengan sang adik, ia langsung jatuh cinta.

Rena amat berang sewaktu mengetahui adiknya telah menikamnya dari belakang. Ia marah, ia sakit hati dan ia sangat sedih. Tapi tak sedikit pun rasa dendam membekas di hatinya. Ia terlalu menyayangi Mia untuk bisa membencinya meski gadis itu sangat pantas untuk dibenci. Luka mana pun membutuhkan waktu agar bisa sembuh dan Rena membutuhkan beberapa minggu sebelum ia bisa berbicara kembali dengan Mia tanpa perasaan marah yang meluap-luap. Rena merelakan pria itu pergi kepada Mia sebab ia menganggap Yos tidak seberharga itu untuk dibayar oleh hubungan erat kakak-adik yang selama ini telah terbina dengan baik. Sayang sekali dulu Mia tidak berpikir begitu…

“Seharusnya aku menurutimu, Ren. Bisa-bisanya aku tidak percaya padamu… Tidak semestinya aku menikahi bajingan itu!” bisik Mia ringan namun penuh dengan emosi.

Betapa cinta itu buta. Ia ingat kata-kata kejam yang ia lontarkan saat Rena yang tadinya sudah memberikan restu tiba-tiba melarang pernikahannya dengan Yos yang sudah di ambang pintu.

“Kau cuma cemburu, ‘kan? ‘Ngaku saja! Kamu tidak bisa terima kalau Yos lebih memilih aku daripada kamu! Iya, ‘kan? Kenapa sih kamu tidak suka melihat adikmu sendiri senang?”

“Mia, bukan begitu! Aku mau kamu senang! Itu sebabnya aku takkan mengijinkanmu menikah dengan pria macam Yos!” bantah Rena keras.

“Kamu jahat! Dasar egois! Aku benci kamu!!!” jerit Mia yang sudah tidak dapat menahan emosinya saat itu.

Dan beberapa menit kemudian perdebatan itu dipenuhi dengan air mata, air mata Rena. “Kau harus percaya padaku, Mi…” pintanya dengan memelas.

“Aku selalu percaya padamu, Ren! Tapi tidak kali ini!”

“Ia bukan pria baik-baik. Ia hanya ingin memanfaatkanmu, ia hanya ingin merebut warisan Papa, Mi. Aku takkan melakukan apa pun untuk menyakitimu, kau adikku satu-satunya. Mana mungkin aku berbuat begitu?” sambung Rena cepat.

“Sudah, aku tak mau dengar lagi!” seru Mia sambil menutup kedua daun telinganya kuat-kuat. “Aku akan tetap menikah dengan Yos! Kau kira kau siapa? Aku tidak butuh persetujuanmu! Bahkan kalau besok kiamat pun, aku akan tetap menikah dengan Yos, kau dengar?”

Rena sudah memperingatkannya tapi Mia tidak mau dengar. Di mata Mia, Yos adalah sosok lelaki yang sempurna, tiada bandingannya sebab ia begitu tergila-gila pada makhluk jantan yang satu itu. Kata-kata Rena tak lebih dari gonggongan anjing liar di telinga Mia, hingga suatu hari…

Akhir pekan itu Mia dan Yos akan merayakan ulang tahun perkawinan mereka yang kedua. Mia sengaja pulang lebih awal dari kantor untuk mengejutkan suami tercintanya. Akan tetapi kejutan yang ia persiapkan tidak semencengangkan kejutan yang menunggunya di rumah.

Rumah begitu sepi, entah ke mana para pembantu dan tukang kebun. Yang lebih mengherankan lagi, ruang keluarga betul-betul kacau balau. Perabotan berserakan. Permadani begitu kusut. Vas-vas porselen antik yang menghiasi ruang bercat merah muda pastel dan berlampu kuning lembut itu hancur berantakan. Sudah seperti kemasukan maling saja. Mia sudah hendak marah besar pada para pembantunya ketika sudut matanya menangkap sesuatu di balik sofa.

Dengan tidak sabar Mia melangkah ke arah sofa yang membelakanginya. Matanya membelalak seketika dan mulutnya membuka tanpa suara. Lututnya langsung lemas, memaksa tubuhnya ambruk bersama dengan tetesan pertama air matanya. Meski dadanya terasa amat sesak, ia terus berjuang untuk bernapas. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa membatu di sana, meratapi apa yang dilihatnya, berharap itu hanya sekadar imajinasi yang dihasilkan oleh pikirannya yang sudah mulai menggila.

“Siapa yang melakukan ini padamu?” ucap Mia parau. Diulurkannya tangannya yang gemetar ke arah saudarinya yang terkulai lemah tak berdaya di atas lantai. Wajah Rena terlihat kosong namun matanya terus-menerus mengalirkan air mata. Pakaiannya koyak di sana-sini, membuatnya nyaris tidak tertutupi. Tubuhnya penuh bekas-bekas penganiayaan, memar-memar yang masih baru. Darah menodai salah satu sudut bibirnya yang pecah sementara sebelah lubang hidungnya mengalirkan darah segar. Membayangkan apa yang telah terjadi pada Rena membuat Mia mual.

Sebelum Mia sempat berbuat lebih lanjut, pembantu keluarga mereka yang paling tua, Bibi Mirah, datang menarik Mia – yang sepertinya belum kembali ke realita – pergi ke luar rumah cepat-cepat. “Kok Non sudah pulang jam segini? Bahaya, Non, bahaya. Kalau Tuan balik lagi, bahaya. Non Mia pergi saja, ya? Tuan gila, Non,” kata Bibi Mirah sambil membimbing Mia setengah berlari melintasi halaman depan.

Tepat setelah Bibi Mirah selesai berkata, Mia menghentikan langkahnya. Kedua matanya yang masih digenangi air mata segera berkilat penuh murka dan benci. “Tuan? Jadi Non Rena…” Mia tidak perlu melanjutkan perkataannya, Bibi Mirah sudah mengangguk-angguk sedih. Ia baru saja akan menyalahkan Bibi Mirah dan para pembantu lainnya ketika ia sadar bahwa kesalahan sebenarnya terletak di tangannya. Bibi Mirah sudah uzur dan pembantu lainnya pasti takut pada sang majikan. Siapa yang dapat menyalahkan mereka? Kenyataan ini semakin membakar hati Mia.

Mia langsung memutar tubuhnya kembali ke arah rumah dan bergegas ke ruang keluarga dengan gusar. Napasnya memburu. Dadanya bergemuruh, penuh sesak dengan kemarahan yang tidak terkira. “Kubunuh kau, Yos!” hanya kata-kata itu yang ada di kepalanya, menuntunnya ke dapur dan membuatnya tiba di ruang keluarga dengan sebilah pisau tajam tergenggam di tangannya.

Pria itu sedang berdiri di dekat Rena, tersenyum licik dan meledek sambil mengisap rokoknya yang sudah tinggal separuh. “Rena, Rena, coba kamu jangan sok pintar…” ucapnya lalu terkekeh seakan-akan apa yang barusan dikatakannya itu lucu.

Mia betul-betul muak. Cukup sudah penipuanmu, lelaki sampah! pikirnya. Ia baru sadar bahwa Yos lebih memilihnya bukan karena ia lebih cantik atau lebih menarik tetapi karena ia lebih bodoh, jauh lebih bodoh. Mia sudah mata gelap, otaknya sudah tidak berpikir. Kaki Mia terasa ringan sekali, melaju secepat angin menuju Yos. “Bajingan kau!” Ia tak ingat apa-apa lagi kecuali darah yang menyembur ke wajahnya dan tubuh Yos yang roboh dengan pisau dapur tertancap di jantungnya.

Mia mengambil kembali bubur yang tadi ditaruhnya, mencoba menyuapi Rena untuk kesekian kalinya. Ia memang telah membunuh Yos di rumahnya sendiri tapi berkat uangnya yang banyak, Mia dapat luput dari mata hukum. Seorang kambing hitam mengakui tindak pidana itu dan sebagai gantinya Mia cukup menyantuni keluarga pria tak dikenal itu dengan uang yang cukup untuk hidup mewah. Yah, begitulah hidup di zaman edan ini… Mia mengaduk mangkuk putih itu lalu mengangkat sesendok bubur untuk Rena.

“Tidak apa-apa, aku tidak menyesal, kok. Yos pantas mati, apalagi setelah ia menyentuhmu, Ren. Tapi yang paling kusesali adalah kebodohanku. Jika aku bisa mengulang semuanya, aku akan mendengarkanmu, supaya kau tak mengalami hal seburuk ini. Sambil makan ya, Ren? Ayolah, hanya sedikit…” Mia terus membujuk Rena agar mau makan.

Perlahan mulut Rena membuka. Sesendok bubur pun masuk ke rongga mulutnya lalu sendok kedua menyusul kemudian sendok ketiga. Namun setelah sendok ketiga Rena memuntahkan semuanya.

Dengan sabar Mia hanya dapat membersihkan muntahan kakaknya dan mencoba lagi. “Jangan khawatir, Ren. Mulai sekarang aku yang akan menjagamu.”

Setelah itu, Mia mengangkat sesendok bubur yang lain lagi. “Nah, ayo! Makan lagi ya?”

Mulut Rena kembali terkatup rapat.

Mia menarik napas pendek sebelum menggunakan bujukannya yang ampuh. “Kamu makan, Ren, nanti aku ‘kan sambil cerita. Kamu suka ‘kan dengar cerita? Apalagi tentang kebodohan adikmu ini, kau pasti suka sekali. Aku masih punya banyak cerita. Masih ingat waktu kita memanjat pohon mangga tetangga…”

Mulut Rena pun membuka dan Mia dapat memasukkan sesendok bubur, berharap kali ini takkan dimuntahkan kembali. Tapi walau dimuntahkan seribu kali pun, ia akan tetap di sana, mencoba menyuapi sang kakak sambil bercerita, bernostalgia indah bersama kenangan-kenangan manis yang telah berlalu.

Satu Malam di Sekolah

“Nana! Ada yang pingsan!” seru seorang siswi berseragam putih-abu-abu sambil berlari mengejarku dari belakang.

Kuhentikan langkahku lalu menoleh ke arahnya. “Hah? Di mana?” tanyaku cepat.

Ia membutuhkan beberapa menit untuk dapat menjawab pertanyaanku karena ia agak kesulitan mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Di… di… aduuuh, itu loh, di depan kelas 2-2.”

Meskipun agak enggan, aku tetap melesat pergi ke lantai dua di mana kelas 2-2 berada dengan berlari. Sebagai seorang anggota Palang Merah Remaja yang masih aktif, aku sering membantu para petugas UKS menangani kecelakaan-kecelakaan kecil di sekitar sekolah. Sebenarnya aku agak malas mengurusi hal-hal semacam itu lagi. Aku berniat keluar dari PMR sejak tahun lalu tapi hingga kini niatku itu belum sempat terlaksana. Pada dasarnya aku menyukai segala sesuatu yang berbau kesehatan. Aku selalu mengagumi organisasi netral yang didirikan oleh Henry Dunant itu. Tetapi, aku tidak ingin disamakan dengan ibuku si perawat yang andal. Semua orang menuntutku untuk mengikuti jejaknya. Mereka ingin agar aku menjadi seperti beliau. Aku tidak mau. Aku adalah aku, dan aku berbeda dengan ibuku. Kurasa itulah alasan utama mengapa aku ingin berhenti saja menjadi anggota PMR. Ya, supaya aku terlihat berbeda dengan ibuku.

Ketika aku tiba di depan kelas 2-2, kerumunan murid-murid nyaris tak terbendung. Aku sulit sekali menembus mereka untuk menjemput ‘pasien’-ku yang pasti berada di tengah. Sambil terus mengucapkan kata permisi dan maaf, aku menyelip melalui celah mana pun yang dapat kutemukan yang bisa membuka jalanku ke tengah kerumunan.

Setelah usaha keras yang akhirnya membuahkan hasil, aku mendapatkan petugas UKS-ku yang telah menunggu kedatanganku. Di pahanya yang sejajar dengan lantai, kepala si siswa yang terluka terkulai dengan lemasnya.

“Ayo, Na! Bawa ke UKS,” kata Bu Prita, penanggung jawab kesehatan di sekolahku yang merupakan satu-satunya petugas UKS yang masih belum pulang sore itu.

Tak lama kemudian, berkat kerja sama yang baik antara aku dan Bu Prita, siswa itu berhasil dibaringkan di ranjang UKS yang sudah agak keras. Kuperhatikan dengan seksama kepala siswa yang bocor itu. Kelihatannya sih terkena kaca jendela yang pecah tapi aku menganggapnya agak tidak masuk akal mengingat setiap jendela kelas di gedung sekolahku berada cukup tinggi, persis di bawah langit-langit, lagipula ‘kan ada jeruji besi yang dipasang sebagai lapisan penangkal bola-bola yang nyasar dari lapangan. Jadi, satu-satunya kemungkinan kalau memang benar ia terkena kaca jendela kelasnya, ia pasti sedang memanjat dinding kelasnya sendiri dari dalam. Tapi… untuk apa ia berbuat demikian?

Lamunanku buyar saat Bu Prita memanggilku. “Na, aku sudah harus pulang sekarang, lho. Aku sudah janji sama anakku buat ‘nganter dia ke les,” katanya dengan logat Jawa yang masih sangat kental.

“Oh…” ucapku sambil mengangguk-angguk. Waduh, gimana ini? Seharusnya aku sudah berada di laboratorium Biologi dua puluh menit yang lalu untuk praktikum tapi kalau begini… Siswa itu tak mungkin ditinggal sendiri dan kalau Bu Prita harus pergi berarti aku yang harus menungguinya sampai orang tuanya datang menjemput.

“Kenapa, Na?” tanya Bu Prita. “Kamu ada praktikum?”

Aku berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaan itu dengan tidak jujur. “Ah, enggak, kok. Aku cuma ada rencana pulang lebih cepat hari ini. Nggak ada acara apa-apa, kok. Ibu pulang aja deh.”

“Ya sudah, aku pulang ya? Makasih loh, Na.”

Bu Prita pun pergi.

Yah, inilah aku. Kenapa selalu sulit rasanya bagiku untuk menolak permintaan orang lain? Selalu merasa tidak enak jika tidak membantu. Kalau dipikir-pikir, aku nekat juga. Ini sudah yang kedua kalinya aku membolos praktikum Biologi demi urusan UKS yang sudah kuanggap seperti kewajiban itu. Tapi bagaimana yah? Sesuatu dalam hatiku memaksaku untuk tidak membiarkan siswa itu sendirian atau membiarkan Bu Prita membatalkan janjinya.

Sudah pukul 17.15. Sekolah sudah sepi. Semua kegiatan ekstrakurikuler berakhir pada pukul lima sore dan lima belas menit lagi, kelasku akan selesai praktikum. Semoga saja aku diperbolehkan ikut praktikum susulan dengan kelas lain, kalau tidak aku tidak tahu bagaimana nasibnya nilai pelajaran favoritku itu.

Sambil menunggu orang tua siswa itu datang, aku membolak-balik majalah yang ada di UKS. Mataku terasa semakin berat. Sebenarnya aku memang kurang tidur dari kemarin. Tadi pagi ada ulangan Sejarah dan bahannya banyak sekali. Dipelajari sampai jam tiga pagi pun bahannya belum habis. Mengerikan sekali, bukan? Aku terus melihat halaman-halaman majalah yang mungkin terbitnya sudah lima tahun yang lalu itu. Isinya begitu-begitu saja, tidak ada yang menarik. Oleh sebab itu, aku mengambil buku tahunan sekolahku dan membacanya sekalian mencari nama dan data-data lain ‘pasien’-ku.

Hmmm… coba kulihat sekali lagi wajahnya… Tidak terlalu buruk, apalagi nanti setelah jahitan di kepalanya yang bocor itu nanti dibuka. Aku kembali membuka lembaran-lembaran berikut sampai aku menemukan fotonya yang dicetak setahun yang lalu sewaktu ia masih kelas satu SMA. Namanya Andri Lukito. Tapi, kenapa aku tak pernah melihatnya, ya? Aku yang terlalu sibuk dengan berbagai macam kegiatanku atau dia yang kurang bergaul?

Suara guntur yang tiba-tiba menggelegar mengejutkanku. Kulihat petir menyambar-nyambar di langit yang gelap dari jendela UKS. Kunyalakan lampu ruangan yang saklarnya hanya berada di sebelahku. Waduh, hujannya mengucur deras sekali.

“Ah, sial! Bagaimana aku bisa pulang kalau begini caranya?” omelku. Namun kemudian, aku baru menyadari ada masalah yang lebih besar daripada pulang kehujanan. Mataku terpaku pada jam dinding yang tergantung di seberang kursi yang kududuki. Jarum panjangnya menunjuk ke angka dua sementara jarum pendeknya berada di antara angka tujuh dan delapan. Jam tujuh malam! Mana mungkin?

Merasa tidak percaya dengan jam UKS, aku melirik jam tanganku. Hanya berbeda 2 menit. Wah, benar-benar gila! Aku pasti ketiduran tadi. Tapi tak mungkin tak ada yang membangunkanku. Kecuali…

Cepat-cepat aku berlari ke bagian depan UKS di mana dilokasikan bangsalnya yang kecil. Benar dugaanku! Andri Lukito masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur. Berarti dari tadi tak ada yang menjemputnya. Bu Prita pasti sudah menghubungi keluarganya, aku yakin, tapi kenapa dia masih di sini? Mungkin lebih baik aku menghubungi rumahnya sekali lagi.

Dengan perlahan dan hati-hati, aku merogoh sakunya dan menarik dompetnya keluar. Kuambil kartu pelajarnya dan menemukan telepon rumahnya di sana. Aku pun bergegas untuk berjalan ke telepon umum yang berada di lantai tiga. Betapa terkejutnya diriku menemukan pintu UKS terkunci dari luar.

Wah, gila! Masa dikunci, sih? Apa tak ada yang tahu kalau di dalam sini masih ada orang? Kucoba membukanya sekali lagi dengan tenaga yang lebih besar tapi pintu itu tetap tidak bergeming. Rasanya hari ini begitu banyak kesialan menimpa diriku, mulai dari ulangan Sejarah yang gagal, bolos praktikum Biologi, sampai terkunci di UKS malam-malam begini.

“Pak! Pak Toha!” seruku dari balik pintu, berharap penjaga sekolahku itu belum pulang. “Pak Toha, Nana kekunci di UKS! Pak Toha!”

Ah, sia-sia saja. Gedung sekolah selalu dikunci setelah Maghrib dan mengunci gedung adalah tugas terakhir Pak Toha sebelum ia kembali ke rumahnya yang tak jauh dari lingkungan sekolah. Ia pasti sudah pulang.

Keluargaku di rumah pasti sudah mengkhawatirkan diriku dan keluarga si Andri itu juga harus dikabari tentang puteranya. Aku harus bisa keluar dan menelepon tapi bagaimana? Dalam keputusasaanku, aku berjalan kembali ke tempat Andri berbaring dan duduk di sana.

Yah, setidaknya aku tidak terkunci seorang diri meskipun ditemani orang tak sadar seperti Andri juga tak begitu terasa bedanya. Aku tak dapat mengingkari kalau aku mulai merasa takut. Walau setiap hari aku selalu ke gedung ini, tetapi di malam hari seperti sekarang gedung sekolahku itu terasa begitu asing. Belum lagi cerita-cerita seram yang sering digosipkan murid-murid saat pelajaran kosong. Aku tidak pernah takut mendengarnya dan mungkin juga tidak pernah percaya hingga hari ini…

Hari sudah malam begini dan aku masih terbungkus dalam seragam sekolah yang sama ketika aku meninggalkan rumah. Aku benar-benar merasa tidak betah dan ingin segera pulang. Aku juga yakin kalau si Andri sadar, ia pasti akan minta pulang. Memangnya siapa yang mau menginap di sekolah sendirian? Dibayar satu juta pun aku pasti akan tetap berpikir dua kali.

Di luar hujan masih deras sehingga aku merasa kurang yakin telah mendengar sesuatu. Samar-samar aku mendengar langkah-langkah ringan di dekat koridor yang menuju ke UKS. Suara langkahnya tidak asing di telingaku. Langkahnya sama seperti langkah yang sering kudengar kala jam istirahat di mana begitu banyak murid yang mondar-mandir di koridor. Siapa pun orang itu, ia pasti mengenakan sepatu seragam sekolahku yang meski ringan tapi cukup menyakitkan kaki.

Didorong rasa ingin tahu dan naluri minta diselamatkan, aku berlari ke pintu UKS. Kugeser meja yang penuh majalah di dekat situ ke belakang daun pintu lalu naik ke atasnya supaya aku dapat mengintip melalui celah sempit di bagian atas pintu. Dapat kulihat sesosok siswi berambut sebahu sedang berjalan pelan-pelan menyusuri koridor.

“Hei! Heeei!” panggilku. Aku tak tahu harus memanggilnya dengan apa sebab aku tak tahu siapa dia. “Bisa tolong ke sini sebentar tidak? Aku kekunci di UKS.”

Gadis itu tetap berjalan. Perkataanku bagai angin lalu di telinganya.

Berulang kali aku memanggilnya dengan suara yang lebih keras dan lebih keras lagi tetapi percuma, siswi itu sepertinya tidak peduli akan apa pun kecuali dirinya dan langkahnya yang perlahan itu.

Diriku mulai terbakar emosi. “Hei, Putri!” seruku seperti ketika aku dengan galaknya memanggil salah satu juniorku.

Kakinya berhenti melangkah.

“Ke sini kamu!” lanjutku masih dengan nada yang keras.

Gadis itu menoleh. Aku tak dapat melihat wajahnya karena koridor sangat gelap. Ia memutar tubuhnya dan melangkahkan kakinya sekali ke arahku lalu terdiam sebentar sebelum akhirnya ia mendongakkan kepalanya. Dalam kegelapan malam yang dibayang-bayangi aliran air hujan yang menghujam ke tanah dan petir yang menyambar sesekali, aku dapat melihat matanya yang tertuju ke arahku. Kesedihan dan kebencian terpancar dari kedua bola matanya yang kini dapat kulihat menyala-nyala bagaikan api.

Kontan saja aku berteriak dan melompat mundur dari pintu yang menyebabkan diriku jatuh berdebum ke atas lantai UKS yang dingin. Cepat-cepat aku merangkak mendekati Andri, satu-satunya ‘teman’-ku yang ada saat itu.

Tubuhku gemetar ketakutan sementara keringat dingin mengucur dari dahiku. Aku tak tahu siapa atau apa yang kulihat barusan. Memanggilnya ternyata merupakan kesalahan besar yang kuharap tak pernah kulakukan. Kini aku hanya bisa berdoa dan berharap dalam hati kalau sosok mengerikan itu tidak akan datang ke UKS. Seumur hidup belum pernah aku merasa setakut ini. “Kumohon pergilah… Jangan dekati aku…” gumamku sambil memeluk diriku sendiri erat-erat.

Cukup lama aku menunggu langkahnya menjauh tapi sedikit pun aku tak mendengar sol sepatunya bergesekan dengan lantai. Mati aku kalau ia masih menunggu di koridor, pikirku. Saat itu, aku baru dapat melihat keuntungan dari terkunci di dalam UKS. Dengan demikian ‘dia’ takkan bisa masuk. Tapi ke mana sih orang itu? Koridor begitu sepi.

Masih dalam usaha menenangkan diri, aku mulai berjalan tanpa suara ke arah pintu. Setelah membulatkan tekadku, aku pun kembali naik ke atas meja dan mengintip ke arah koridor.

“Syukurlah…” bisikku lalu menghembuskan napas lega. Tak ada yang tahu betapa senangnya hatiku menemukan koriodor dalam keadaan kosong. Tak ada siapa-siapa di sana. Walaupun aku jadi menyangsikan penglihatanku beberapa waktu yang lalu, aku tidak peduli. Yang penting, aku baik-baik saja dan tak ada pemandangan mengerikan lagi.

Tapi benarkah begitu?

“Aaaaaa!!!” jeritku tak sampai sedetik kemudian.

“Ma… Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu,” kata sosok yang tiba-tiba berada di belakangku ketika aku turun dari meja. Ya, orang itu tak lain adalah Andri.

Dapat kurasakan urat-urat sarafku mengendur dan aliran darahku kembali mengalir. “Aduh… bikin kaget orang saja.” Walau berlagak agak kesal, sebetulnya dalam hati aku lega sekali.

“Iya, maaf.”

“Eh, kok kamu bangun dari tempat tidur? Ayo duduk, nanti kamu pusing,” kataku sambil menarik lengannya dan dengan hati-hati membimbingnya ke kursi terdekat.

“Aku tidak apa-apa. Terima kasih.”

Aku tersenyum. “Ehm… Begini, Andri… Nama kamu Andri ‘kan?”

Siswa yang diperban dahinya itu pun mengangguk.

“Orang tuamu belum jemput. Terus, aku tadi sempat ketiduran, jadi… kita kekunci di sini. Pak Toha kayaknya nggak tau, deh kalau ada orang di UKS. Maaf  ya? Aku ‘nggak sengaja.”

“Jadi sekarang gimana?” tanyanya.

“Nggak tau…” jawabku sambil mengernyitkan dahi, menyadari bahwa jawaban itu hanya akan menambah kerisauan saja.

Andri menunduk setelah mendengar perkataanku. Sepertinya ia kecewa. “Ya sudah. Paling tunggu sampai besok.”

Aku kembali merasa lega karena Andri tidak menyalahkanku atas kesulitan yang menimpanya.

Kami mulai mengobrol. Mulai dari kenapa aku tak pernah melihatnya sampai kejadian mengerikan yang tadi aku alami sebelum ia sadar.

“Orangnya seperti apa?” tanyanya ringan.

“Hmm… yang jelas sih cewek. Rambutnya sebahu. Tingginya kayaknya standar tuh. Aku ‘nggak gitu jelas lihat wajahnya, sih,” jawabku. “Ya, mungkin salah lihat kali.”

“Salah lihat? Enggak lagi.”

Aku mengerutkan kening tanda tak mengerti.

“Yang kamu lihat itu sungguhan. Masa kamu belum pernah dengar ceritanya?”

“Cerita apa? Aku malas dengar gosip horor di kelas waktu jam kosong jadinya aku tidak begitu ingat cerita-ceritanya. Paling aku cuma dengar sambil lalu saja.”

“’Kan ada siswi yang meninggal waktu masa orientasi di sini.”

“Hah? Masa sih? Mana mungkin? Orientasi di sini kan tidak berat.”

“Dulu berat sekali. Sekarang saja jadi ringan.”

“Oh ya? Apa yang terjadi padanya?”

“Katanya dia dihukum terlalu berat oleh seniornya. Pokoknya hukumannya itu benar-benar kelewat batas. Pada dasarnya mental dan fisik anak itu memang lemah, jadinya ya begitu deh.”

“Ooo…” Mengerikan sekali, pikirku. Pantas saja dia menoleh ketika aku memanggilnya dengan sebutan ‘Putri,’ sebutan untuk siswi yang paling umum digunakan para senior saat masa orientasi. Dapat kubayangkan betapa dendamnya ia pada senior-senior yang dulu menghukumnya. Hiiiyyy… aku sampai bergidik sendiri.

Malam semakin larut namun perbincangan kami malah semakin seru.

“Kamu cocok ya jadi anak PMR? Biar rasanya males tapi kamu masih tetap mau bantu. Cepat lagi,” pujian itu terasa aneh di telingaku, mungkin karena kadar ketulusannya yang begitu tinggi.

Aku tersenyum kecut. “Yah… gitu, deh. Kewajiban, sih.”

“Kewajiban? Yakin? Masa iya kalau kewajiban doang kamu semangat banget?”

Kata-kata itu memaksaku terdiam dan berpikir. Tapi, karena aku sedang tidak mau dipusingkan oleh apa pun, aku kembali berbicara. “Ah, sudahlah. Aku udah mau berhenti, kok. Bosan ‘ngurusin orang melulu.”

“Jangan!”

Larangannya itu benar-benar mengejutkanku. Kelihatannya ia begitu tidak ingin aku keluar dari PMR seakan-akan bila aku bukan anggota lagi, ia akan mati. Namun aku tertawa saja, menutupi perasaan bingung yang meliputiku sambil berharap topik PMR itu akan segera berlalu.

“Na!… Na!”

Kubuka mataku sedikit demi sedikit. Bayangan buram yang ada di hadapanku pun berangsur-angsur jelas. “Bu Prita?”

“Ampun deh anak ini. Kamu ketiduran ya, Na?” kata Bu Prita yang kini sedang berdiri di sampingku.

Aku yang masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi hanya bisa diam saja. Kucoba mengingat-ingat apa saja yang telah terjadi padaku kemarin.

“Eh, iya!” seruku sambil berdiri. “Si itu mana?”

“Si itu siapa?”

“Itu, Bu, yang kemarin kepalanya kena kaca di depan kelas 2-2.”

“Kena kaca? Ada juga yang ketabrak pintu. Ya sudah dijemput orang tuanya lah, Na. Kamu tidur terus, sih,” ucap Bu Prita sambil tertawa.

“Ketabrak pintu?… Ah, pokoknya yang kepalanya luka itu loh.”

“Iya, sudah pulang. Dia sudah dijemput. Kamu saja yang kekunci di UKS. Na, Na… kamu itu aneh-aneh aja. Gimana rasanya ‘nginep di sekolahan?”

“Hehehe… lumayan deh, Bu. Untung si Andri belum dijemput kemarin, jadinya kagak sendirian.”

“Andri? Andri sopo?”

“Ya anak yang kemaren kepalanya bocor itu. Andri, Andri Lukito. Ibu gimana, sih?”

Bu Prita terdiam sambil memandangku dengan heran. “Kok Andri, sih? Lha wong namanya Budi.”

“Budi? Ah, Andri, kok.”

Tepat saat itu seorang siswa bersama ibunya datang ke UKS.

“Nah, itu anaknya datang,” kata Bu Prita seraya menyambut kedua tamu itu.

Siswa itu berjalan mendekati diriku. Kulihat wajahnya. Sama sekali tidak mirip Andri, ‘pasien’ yang kurawat kemarin. Kulihat juga perban yang melintang di kepalanya. Luka Andri persis di dahinya tapi yang ini kenapa di atas telinganya?

“Terima kasih banyak, ya? Aku Budi. Kata Bu Prita nama kamu Nana, ya?”

Aku tak dapat mengatakan apa-apa. Lidahku terasa begitu kelu untuk berbicara. Aku tak mengerti. Yang kutolong kemarin itu Andri, bukan Budi. Tapi…

“Na?”

Aku tak bereaksi.

“Aduh, maaf ya, Bud, Bu… Nana kurang tidur dari kemarin. Mungkin masih cape,” kata Bu Prita, mengarangkan alasan atas ketidaksopananku.

Siswa yang mengaku bernama Budi itu pun meninggalkan UKS bersama ibunya.

“Kamu kenapa, Na?” tanya Bu Prita cemas.

Bukannya menjawab, aku malah langsung menyambar buku tahunan sekolahku yang kemarin kubuka. Kucari-cari halaman di mana ada terpampang foto Andri Lukito.

“Ini loh, Bu! Lihat deh! Ini Andri yang kemarin kepalanya bocor,” seruku sambil memperlihatkan foto Andri pada Bu Prita. “Iya, ‘kan? Andri Lukito.” Kutunjuk nama yang tercetak di bawah foto hitam-putih itu dengan jari telunjukku dan langsung merasa menang. Memang jelas-jelas namanya Andri Lukito, kok, pasti Bu Prita yang ngawur.

Bu Prita menggelengkan kepalanya. “Na…”

“Ibu lihat dulu!” potongku. Aku tak mau mendengar perkataannya sebelum ia percaya perkataanku.

“Na!” bentaknya.

Aku tetap tidak mau dengar sampai akhirnya Bu Prita menarik buku tahunan itu dariku dan membuka halaman pertamanya di depan mataku. “Baca, Na! Lihat!”

Angkatan XVI. Tahun 1987. “Tahun delapan tujuh?” Tubuhku langsung merosot ke lantai. Apa maksud semua ini? Apa aku sudah gila? Ya Tuhan, siapa yang kemarin mengobrol semalaman denganku? Kalau biasanya aku mengangkut orang pingsan, kali ini giliranku yang diangkut.

Beberapa hari kemudian, setelah merasa sanggup menerima kejadian aneh itu, aku baru mulai mencari tahu tentang siswa sekolahku yang bernama Andri Lukito dan juga kejadian yang ia ceritakan padaku tentang seorang siswi yang meninggal sewaktu masa orientasi. Aku benar-benar merasa memiliki dorongan tertentu untuk mengetahui kebenaran cerita yang semula kukira hanyalah bualan yang dibuat murid-murid untuk mengisi jam pelajaran kosong.

Ternyata sekolahku memiliki catatan sejarah yang cukup mengerikan. Siswi yang meninggal pada masa orientasi itu bukan gosip tapi kenyataan. Dan Andri Lukito… Dia juga sudah meninggal. Kepalanya tertancap pecahan kaca jendela kelas 2-2 yang dulu merupakan kelasnya. Pada waktu itu, jendela-jendela di sekolahku tidak semungil sekarang dan juga belum diperisai dengan terali besi. Insiden itu terjadi sewaktu kelas lain sedang pelajaran olah raga. Salah satu bola basket yang mereka mainkan secara tidak sengaja memecahkan kaca jendela kelas 2-2 dan mengenai kepala Andri. Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit karena pendarahan yang tidak bisa dihentikan, baik oleh para petugas UKS maupun anggota Palang Merah Remaja yang datang terlambat. Pihak keluarganya menyalahkan kelalaian sekolah, UKS, dan juga PMR. Aku tidak tahu lagi kelanjutan ceritanya tetapi aku sudah cukup mendapat gambaran akan apa yang terjadi pada tahun 1987 di sekolahku itu.

Beristirahatlah dengan tenang Andri… Aku sudah mengerti maksud penampakan dirimu padaku. Aku takkan berhenti dari PMR. Aku tak peduli kalau orang-orang menyamakan aku dengan ibuku, yang penting aku dapat berguna bagi orang lain. Setidaknya aku takkan membiarkan siapa pun mengalami pendarahan sampai meninggal, tidak bila aku masih sanggup menolongnya.

Kurasa ia benar… Bagiku semua itu bukanlah hanya sekadar kewajiban meski ribuan kali aku menyangkalnya. Sampai kapan pun aku takkan pernah pensiun karena aku sadar bahwa kepalangmerahan telah merasuk dalam jiwaku. Ya, untuk selamanya…

Gadis Super???

Sebuah piring berisi bihun goreng melayang ke arahku. Dengan gesit aku langsung menunduk dan perkakas dapur tante kantin itu pun pecah berantakan.

“Siapa, sih? Goblok banget!” seruku yang merasa terganggu sambil melihat ke sekelilingku. Mungkin kalian berpikir kalau aku akan mencari kambing hitam tapi tidak, aku bukan tipe orang yang suka mencari keributan, aku hanyalah orang yang tidak suka diganggu.

Tak ada yang berniat menjawab pertanyaanku itu sepertinya. Yah, terserahlah…

Tanpa peduli apa-apa lagi, aku menaruh nampanku di atas sebuah meja kosong lalu duduk. Baru saja aku hendak makan bakso-ku yang hampir mendingin ketika aku menyadari apa yang sedang terjadi.

Tak jauh dari tempatku bertengger, seorang siswi yang nampaknya masih baru tengah terduduk di lantai dengan wajah tak berdaya sementara di sekelilingnya berdiri tiga siswi yang jelas merasa lebih senior. Tak perlu diragukan lagi kalau bihun goreng bertabur bakso dan ayam yang tadi nyaris singgah di kepalaku itu miliknya.

Yah, beginilah sekolahku yang butut itu. Senioritas sangat dijunjung tinggi sehingga para senior dibiarkan berkuasa dengan bebas. Namun, meski aku hanya siswi tingkat dua, aku tidak takut dengan para senior yang kuanggap hanya berani jika berkelompok saja. Memangnya apa yang membuat mereka merasa diri lebih hebat dari yang lain? Aku sama sekali tidak melihat apa istimewanya dengan bergerombol di sekolah dan mengganggu anak-anak junior terutama yang baru masuk tahun ajaran ini.

Maaf, Bu Kepala Sekolah, tapi ini tetap harus kuulangi… Aku bangkit dari kursiku. “Hei! Hobi amat sih ‘ngeganggu orang?”

Kali ini seruanku mendapat perhatian dari seisi kantin yang langsung melirik ke arahku. Semua kasak-kusuk langsung hilang. Ketiga seniorku itu pasti sudah bosan berurusan denganku di kantor kepala sekolah, sama seperti halnya diriku sebetulnya, tapi apa boleh buat?

“Heh, Lena! Kita ‘gak ada urusan sama loe! Makan aja tuch bakso!” kata salah satu dari mereka yang bernama Dina.

Aku menghembuskan napas pendek kemudian berjalan santai mendekati mereka.

“Lain kali kalo ‘gak mau ada urusan, ‘ngelempar bihun gorengnya pake mata dikit yah?” kataku ketika aku sudah hadap-hadapan dengan Dina, Lisa dan Henny, tiga senior yang lebih suka kupanggil “Trio Resek.”

Kubantu anak malang itu untuk berdiri. Kasihan betul sih… sampai gemetaran begitu. “Bihunnya beli lagi deh, ya? Masih keburu, kok. Belnya suka telat,” ucapku sambil terseyum lebar.

Gadis itu hanya bisa mengangguk lalu berlalu. Ia benar-benar ketakutan.

“’Gak ada urusan, ‘kan? Gua juga ‘gak ada. Daaah…”

“Eh, tunggu! Mau ke mana loe?!”

“Mau makan bakso,” ucapku ringan. Aku pun berjalan pergi.

Saat sekolah bubar, gadis yang tadi diganggu di kantin datang menghampiriku untuk mengucapkan terima kasih.

“Ah, ‘gak pa-pa, kok. Nyantai aja lagi,” kataku.

“Gimana tuh kalau misalnya mereka ‘ngejar kamu? Bisa berantem, ‘kan?”

Aku tertawa. “Kejar aja kalau berani. Aku sih ‘gak masalah keluar-masuk ruang kepsek, tapi mereka ‘kan sudah mau lulus. Jadi, kalau mereka pintar, lebih baik jangan cari masalah dulu.”

Siswi baru itu tersenyum. “Oh ya, namamu siapa? Aku Lucy.”

“Magdalena, panggil aja Lena.”

Yah, itulah awal persahabatanku dengan Lucy, anak cengeng yang selalu nampak tidak berdaya. Tapi, aku betul-betul salah jika mengira ketidakberdayaannya itu takkan menyakitiku, justru itulah yang paling mampu menggoresku pada akhirnya…

Lena anak pintar, Lena anak berbakat, Lena anak kuat. Ia pasti bisa mengatasi segalanya. Itulah anggapan semua orang terhadap diriku. Orang tuaku, saudara-saudariku, teman-temanku, semuanya beranggapan sama. Aku tumbuh menjadi gadis yang kuat, lebih kuat dari yang semestinya mungkin. Secara fisik aku memiliki stamina yang cukup baik untuk berprestasi dalam cabang-cabang olahraga dan secara mental aku memiliki ketahanan terhadap “penyakit-penyakit hati” yang besar. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku menangis. Sampai detik ini, aku tak pernah terlibat masalah yang tidak mampu aku lewati, baik itu masalah nilai, lingkungan sekolah maupun asmara.

Ha-ha… sebaiknya untuk hal yang ketiga itu tak perlu kusebut sebab kurang relevan mengingat aku hanya pernah jatuh cinta dengan satu orang. Petrus, hanya dia-lah yang kusuka dalam hidupku ini. Ia sahabatku dari kecil. Kami sudah lama sekali berteman dan mungkin itulah sebabnya aku bertepuk sebelah tangan. Ia sudah menganggapku sebagai saudaranya sendiri daripada sebagai teman istimewanya.

Sabtu itu, sekolahku mengadakan kompetisi perahu dayung antar kelas. Aku dan Lucy mewakili anak-anak kelas dua mengingat peminatnya hampir tidak ada. Aku tidak mahir dalam cabang ini, apalagi Lucy, jadi kami berdua hanya bisa pasrah pada nasib.

Benar saja, di tengah danau, perahu kami mulai tidak seimbang dan kami pun tercebur. Siswa-siswi lain di pinggir danau mulai berteriak panik menyuruh orang-orang untuk menolong kami, meskipun kupikir tak perlu sehisteris itu. ‘Kan hanya air, lagipula ini ‘kan di danau belakang sekolah yang sama sekali tak ada buayanya atau ular air, aku bahkan ragu ada ikan di situ.

Berbeda dengan diriku yang tenang-tenang saja, Lucy benar-benar panik walaupun pelampung jingga melekat di dadanya. Aku mencoba menenangkannya dan mengajaknya berenang perlahan-lahan bersamaku ke tepian.

“Lena, aku takut sekali, aku takut, aku tak mau tenggelam, Lena, tolong,” rengeknya.

“Kau takkan tenggelam, Lucy, kau ‘kan pakai pelampung. Penakut amat sih!”

“Oh, kuharap aku bisa seberani kau, Lena…”

Aku tak menjawab lagi sebab seseorang telah berenang mendekat. Ya, tak lain dan tak bukan, ia-lah Petrus. Jika ada orang yang berinisiatif cepat di sekolah, Petrus-lah orangnya. Itu yang membedakannya dengan siswa-siswa lain. Dan karena itu pulalah, aku memandangnya dengan cara yang berbeda dari yang seharusnya.

“Kau tak apa-apa, Lus?” tanyanya pada Lucy.

Gadis itu menggangguk-angguk.

“Ayo, kubantu kau ke tepi,” ucapnya sambil melingkarkan tangannya di tubuh Lucy, membantunya berenang ke tepian, sementara aku ditinggalkan sendiri.

“Tak apa-apa, aku sanggup berenang ke tepian sendiri tanpa bantuan siapa pun,” bisikku pada diriku sendiri.

Dalam hati aku sedih sekali. Kenapa hanya Lucy yang ditanyakan keadaannya? Meskipun aku tidak apa-apa, ‘kan tidak tertutup kemungkinan kalau aku tidak baik-baik saja. Curang! Ini tidak adil! Sekuat apa pun diriku, aku juga tetap seorang gadis yang mungkin membutuhkan perhatian atau bantuan dari seorang laki-laki, apalagi kalau laki-laki yang dimaksud adalah Petrus.

Hubungan Lucy dan Petrus semakin akrab saja. Aku tahu Petrus pasti punya perasaan lain terhadap Lucy, aku dapat merasakannya. Yah, walau Lucy tak ada pun, dia tetap takkan berpaling padaku, aku bukan seleranya, aku tak butuh dilindungi, aku bisa mengatasi semuanya sendiri…

Ketika mereka berdua mulai berpacaran, ingin sekali rasanya aku menangis, tapi tak setetes air mata pun keluar. Kenapa? Aku tak pernah minta untuk dijadikan kuat seperti ini. Aku tak pernah menuntut untuk bisa mandiri. Orang lain mungkin melihat apa yang kumiliki sebagai suatu berkah. Kalau saja mereka tahu apa konsekuensinya memiliki berkat-berkat seperti diriku. Saat itu kukutuk semua kelebihan yang kumiliki. Aku ingin jadi lemah, aku ingin jadi manja, aku ingin butuh ditolong, aku ingin!!! Salahkah aku bila menginginkannya?

Ya Tuhan, aku bosan… Aku lelah menjadi orang kuat. Aku ingin jadi orang yang tak bisa apa-apa saja jika itu yang diperlukan untuk mendapatkan hati Petrus. Tapi, kenapa aku tak bisa?

Aku ingin jatuh tersuruk dan diam di sana selamanya. Aku ingin tahu apa rasanya bila semua beban di bahuku diangkat. Aku ingin tahu bagaimana rasanya jadi orang yang bergantung dan bukan yang digantungi. Katakan semua ini manusiawi…

Aku tersakiti, bukan? Tapi mengapa rasanya begitu semu? Aku hampir tak dapat merasakannya, di manakah luka itu? Huhhh… lelah sekali rasanya…

“Len, kamu jaga rumah, ya? Kalau sepi, ajak Petrus datang saja,” kata ibuku sesaat sebelum ia pergi bersama dengan ayah dan adik laki-lakiku ke rumah nenek.

Pamanku akan menikah setelah sekian lama mencari pasangan hidup yang cocok untuknya. Semoga saja pilihannya benar. Aku turut berbahagia untuknya, tapi sayang sekali, aku tak bisa hadir di pestanya. Hari senin aku mulai ujian akhir. Jadi, dengan sangat amat terpaksa aku harus ditinggal sendiri di rumah.

Biasanya kalau aku sendiri di rumah, Petrus selalu menemaniku. Keluargaku sudah kenal baik dengannya dan juga keluarganya. Yah, kami memang sudah seperti keluarga. Tapi, kini ia sudah ada Lucy. Ia tidak bisa seperti Petrus yang dulu yang selalu bisa menemaniku. Aku juga tahu diri. Aku takkan memintanya datang.

“Ah, kenapa sih Mama mengingatkanku untuk mengajaknya datang?” ucapku kesal pada diriku sendiri. Kalau tidak disebut-sebut ‘kan aku takkan memikirkannya, aku bisa memendam diriku dalam pelajaran-pelajaranku yang besok lusa akan diujikan. Oh, Petrus… tahukah kau kalau aku sedang memikirkanmu?

Bayangan tentang dia sedang belajar bersama Lucy sedangkan aku berkutat sendiri dengan tumpukan buku di meja belajarku yang lampunya sudah mulai meredup membuatku merasa sedih sekali. Kujatuhkan pensilku di atas buku catatan Fisika-ku lalu kutinggalkan meja belajar itu. Pikiranku terlalu kacau untuk bisa berkonsentrasi, lebih baik aku tidur saja.

Berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan kaset-kaset yang ada di kamarku ternyata tidak berhasil. Aku tidak bisa tidur dan pikiranku juga tidak menjadi lebih tenang. Ya ampun! Apa yang terjadi pada diriku?

I try but I can’t seem to get myself to think of anything… but you…

Tanpa kusadari tetes-tetes air mataku merebak dan tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya. Mengapa lirik lagu “I Wanna Be with You”-nya Mandy Moore yang biasa sering kulantunkan bersama teman-temanku dengan wajah berseri kini malah memancingku untuk menangis lebih banyak?

I wanna be with you… if only for a night… to be the one who’s in your arms, who holds you tight… I wanna be with you…

Kuremas bantal yang sedang kupeluk. Ya Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku? Aku ingin berada di posisi Lucy sekarang. Aku ingin bisa memiliki Petrus, aku ingin disayang olehnya dengan cara yang berbeda… Aku hanya ingin ia juga memiliki perasaan yang sama denganku, itu saja. Tak bisakah ia mencintaiku sedikit saja? Separuh saja dari yang ia berikan pada Lucy. Aku akan cukup senang.

Air mataku mengalir semakin deras. Beginikah rasanya bila patah hati? Sekarang aku tahu… Kalian lihat? Aku tak sekuat yang kalian bayangkan selama ini. Jadi, kumohon jangan menganggapku seperti gadis super yang mampu menahan semuanya. Aku tidak sanggup…

“Menangislah, Lena… Menangislah sampai air matamu mengering. Keluarkan semua yang selalu kausimpan dalam hati, keluarkan semua… Jangan sisakan sedikit pun kesedihan dan kepedihan yang sudah terpendam lama sekali,” kataku dalam hati. Esok segalanya akan menjadi lebih baik…

Pengumuman kenaikan kelas pun tiba. Aku sedang mencari-cari namaku di setiap daftar nama yang tertempel di pintu-pintu kelas ketika Petrus dan Lucy datang mengejutkanku.

“Lena!” panggil Lucy yang terlihat sangat gembira. “Kita sekelas lho! 3 IPA 2!”

“Oh ya? Masa? Asik, donk! Terus elo, Pet?” tanyaku.

“Gua misah sendirian, nich. Jahat loe orang,” jawab Petrus yang nampaknya tidak puas dengan pembagian kelas yang telah diatur para dewan guru.

Aku dan Lucy tertawa. “Emang enak…”

Ya, aku siap memulai tahun ajaran baru dengan tantangan-tantangannya yang baru. Masalah Petrus dan Lucy, kurasa itu semua sudah menjadi kisah lama yang akan terus kusimpan sampai hatiku kembali terbuka untuk orang lain. Aku sudah merasa cukup dengan keadaan yang sekarang. Dan, aku yakin aku akan dapat mengatasi perasaanku terhadap Petrus, lagipula aku ini anak kuat ‘kan?

Warnet Seberang

“Hmmm…” lagi-lagi aku termenung di depan monitor. Apa yang harus kukatakan selanjutnya? Duh, aku harus mengakui kalau aku sudah kehabisan kata-kata menghadapi orang yang satu ini. Ia selalu kembali ke topik yang sama, selalu mengajakku bertemu muka dan pergi berdua. Sejauh ini permintaannya itu kutolak terus tapi sepertinya ia tak pernah bosan. Alasan-alasanku sudah kukeluarkan semuanya, bahkan alasan-alasan paling konyol yang aku sendiri takkan mungkin percaya.

Beberapa bulan terakhir ini, aku punya kegemaran baru, yaitu nongkrong depan komputer dan main internet. Semua itu bermula sejak tetanggaku buka warnet di seberang rumah. Sebagai orang yang senang dengan perubahan baru, tentu saja aku ikut mencoba bersama dengan teman-temanku yang lain. Tadinya aku hanya mengaksesnya untuk tetap berhubungan dengan sahabat-sahabat lamaku yang kini bersekolah di luar negeri sebab harganya relatif murah jika dibandingkan dengan perangko dan tentu saja jauh lebih cepat. Yah, tapi yang namanya orang, tentu tidak akan puas hanya dengan ber-email-ria. Tak banyak waktu yang kubutuhkan untuk menjadi pecandu IRC.

Wah, sudah jam sebelas! Harus cepat-cepat logout nih… Langsung saja kututup semua window yang ada di monitorku dan segera angkat kaki dari situ. Untung hanya di seberang rumah, tapi meskipun begitu, aku cukup takut juga ketika menyeberangi jalan dua arah yang sudah sepi itu, ternyata seram juga, yah?

Baru saja tiga langkah aku berjalan saat aku merasa ada yang mengamatiku. Kontan saja aku berhenti dan melihat sekeliling walau jantungku rasanya sudah hampir copot karena takut. Untungnya aku tidak dapat menemukan mata “siapa” atau “apa” pun yang tertuju ke arahku sebab kalau tidak, entah apa yang akan kulakukan.

“Tenang, Rita…” batinku berkata dalam hati. “Jangan berpikiran yang bukan-bukan. Tak ada orang gila yang sedang menguntitmu. Itu semua hanya ada di film, bukan di kehidupan nyata.” Susah payah aku mendoktrinasi diriku sendiri, membuang jauh-jauh pikiran aneh yang selalu kuanggap sebagai imajinasi berlebih.

“Lihat, ‘kan? Sekarang kau sudah sampai.” Aku menghembuskan napas lega begitu kedua kakiku menapak dengan selamat di teras rumah. Kuputar pegangan pintu depan perlahan sambil berharap Mama belum menguncinya.

Wah, ternyata Mama memang baik hati! Mama pengertian sekali! Ia selalu tahu kalau aku takkan pulang di bawah pukul sepuluh setiap malam minggu. Cepat-cepat aku masuk ke dalam tanpa bersuara dan langsung menuju kamar tidurku yang terletak di lantai atas.

Keesokan paginya, aku terbangun oleh suara anjing peliharaanku yang nampaknya sudah masuk ke kamar. Menurut kebiasaannya, si Belang  takkan berhenti menyalak jika aku belum bangun. Jadi, mau tak mau aku harus bangun.

Ketika turun dari tempat tidur, aku menginjak sesuatu yang aneh. Rasanya aku tidak pernah menaruh kertas atau catatan-catatanku di lantai. Kuambil saja kertas lusuh itu dan kulihat dengan lebih seksama untuk mencoba mengidentifikasi apa itu sebenarnya.

“Selamat tidur, Sweet_Cherry. I love you forever.”

“Astaga!” seruku terkejut. “Apa-apaan ini?”

Tak ada yang tahu nickname-ku, bahkan teman baikku sekalipun. Aku tak pernah memberitahu siapa-siapa. Siapa yang menulisnya? Iseng sekali! Tentu saja, kertas itu kurobek dan kulempar untuk menjadi penghuni keranjang sampah kamarku.

Keterkejutan dan kengerianku yang langsung mekar setelah membaca dua kalimat pendek itu mengusir rasa kantukku seketika. Jauh lebih efektif daripada serangan pagi si Belang.

Kejadian itu kusimpan sendiri, lagipula apa sih bahayanya secarik kertas kotor yang isinya pun melantur?

Aku baru tahu diriku salah besar saat sepotong kertas serupa dengan tulisan tangan yang sama kutemukan di dalam tas sekolahku sepulangnya aku dari kegiatan ekstrakurikuler. Kali ini dia mengatakan bahwa permainan basketku hari itu sangat bagus dan ditutup dengan kalimat gombal yang membuatku bergidik.

Meskipun aku lebih suka menganggapnya sebagai lelucon yang tidak lucu, aku tak bisa mencegah diriku untuk tidak merasa diteror. Sedikit rasa takut sudah menyelinap dalam hatiku.

Sore harinya, setelah aku mandi dan berpakaian rapi, aku kembali melancong ke seberang rumah.

Penjaganya yang agak-agak aneh menyambutku dengan wajah tertunduk seperti biasanya. Ia memang pemuda yang sangat pemalu. Oleh sebab itu, ia sering kikuk sendiri bila berhadapan dengan pelanggan wanita. Teman-temanku suka sekali menjadikannya bahan tertawaan tapi aku lebih suka cuek saja. Bukan karena aku tidak iseng, namun ada sesuatu pada dirinya yang membuatku tidak bisa meremehkannya begitu saja. Semua mengira aku sudah kecantol padahal sejujurnya aku agak takut dengan makhluk penjaga warnet yang pendiam itu.

Entah kenapa, sore itu browser maupun IRC-nya lambat sekali. Aku sampai kesal setengah mati, tapi yah, demi sahabat karibku yang di seberang samudera tak apa-apalah… Pasrah sih pasrah tapi yang namanya bete apa boleh buat? Kuhentakkan mouse komputer yang kupakai dengan agak keras sampai orang di komputer sebelah menoleh ke arahku. Oops…

“Kenapa, Rita?”

Hampir saja aku terjatuh dari kursiku ketika pemuda yang masih berusia sekitar 20-an itu mendekati komputerku. Apa? Tidak salah dengar, nih?

“Rita?” ucapku seperti orang tolol. Masa sih, dia tahu  namaku? Hmm… mungkin dari email-ku yang seringkali lupa ku-signout sebelum aku logout dari warnet.

“Iya, nama kamu Rita, ‘kan?”

Aku mengangguk, masih dengan perasaan bingung. “Ini koq lambat sekali sih.”

“Oh ya?” Tanpa mendengar tanggapan dariku, ia langsung mengambil alih mouse dan keyboard di hadapanku lalu mulai sibuk sendiri.

Kuperhatikan saja sosok yang nyaris kukira bukan manusia itu. Ia terlihat begitu pintar bahkan tanpa kacamata sekali pun, mungkin otaknya begitu penuh dengan aplikasi komputer. Jadi, jangan salahkan aku jika aku terkejut mendengarnya berbicara padaku.

Malam semakin larut dan aku belum juga selesai bermain. Orang terakhir logout sekitar 15 menit yang lalu, jadi kini tinggal aku sendiri saja, dengan penjaganya tentunya. Tadi kukira aku juga harus segera menyusul orang itu tapi email-ku masih banyak sekali lagipula ‘kan rumahku hanya di seberang.

“Kamu belum pulang?” Kubaca tulisan itu di monitorku.

“Belum nih… tanggung sih…” Tumben-tumbennya si Jack^0^Lantern tidak mengajakku pergi berdua lagi. Baguslah, akhirnya bosan juga orang itu. Padahal, dulu boleh dibilang aku pernah kesambet “cyber love” juga dengan pemilik nickname itu, tapi karena sikapnya yang semakin aneh, aku jadi takut kalau-kalau dia itu psikopat yang sering kubaca di majalah-majalah. Baru saja aku hendak bersorak penuh kemenangan ketika sekalimat muncul darinya.

“Kamu cocok deh pakai kaos biru dan celana abu-abu.”

Aku langsung berdiri dari kursiku dan melihat ke sekeliling warnet, berusaha mencari teman-temanku yang mungkin sedang iseng atau setidaknya pelanggan lain, tapi yang dapat kutemukan hanyalah si penjaga warnet yang melihatku sekilas sambil tersenyum.

Aku pun membalasnya walau agak enggan sebab mood-ku telah dirusak orang gila dalam dunia maya itu. Tidak mungkin ‘kan kalau ia bisa mengintip melalui monitor dan melihat pakaian yang kukenakan sekarang?

Aku kembali duduk dan mengetik. “Siapa bilang aku pakai kaos biru dan celana abu-abu? Aku pakai kaos hitam, kok.”

“Hahaha… kamu ‘nggak pintar bohong, yah?”

“Aku ‘nggak bohong kok!” balasku ngotot.

“Ah… aku senang akhirnya kita bisa berduaan saja, Rita.”

Jantungku serasa berhenti berdetak detik itu juga. Rasa takut memenuhi diriku. Jari-jariku membeku di atas keyboard. Aku tidak pernah memberitahu dirinya nama asliku.

“Kenapa diam? Jawab, donk.”

Kutatap monitor di depanku dengan perasaan ngeri lalu segera bangkit dan bergegas ke pintu keluar. Meskipun aku tahu tak seharusnya aku pergi sebelum membayar, aku betul-betul tak sudi singgah di meja server.

“Rita, kau mau ke mana?” kata si penjaga warnet yang kini benar-benar kutakuti. “Apa kau tidak suka berduaan denganku, Sweet_Cherry?”

“Ya, Tuhan!” pekikku dalam hati. Dia Jack^0^Lantern! Aku berlari keluar warnet sekencang mungkin. Takkan kubiarkan dia mengejarku. Dasar gila!

Sesampainya di rumah, aku mengunci semua pintu dan jendela rapat-rapat. Sejak saat itu, aku berjanji takkan pernah menginjak warnet lagi. Aku benci internet, aku benci dunia IRC dan aku benci Jack^0^Lantern!

Untung saja, tak lama setelah kejadian mengerikan yang kualami, warnet itu ditutup dan si penjaganya pun ikut pergi bersamanya. Aku jadi kembali berani keluar rumah malam-malam dan juga kembali main internet walaupun tidak pernah sampai larut malam lagi. Kali ini, aku mengganti nickname-ku dan tak seorang pun yang tahu identitasku dalam dunia cyber, kurahasiakan semuanya pada mereka.

Suatu hari, sepulangnya aku dari sekolah, aku dan teman-temanku mampir sebentar ke warnet langganan. Setelah selesai dengan email-email-ku, aku pun mulai merambah ke IRC. Dengan modal nickname baru dan juga IP address yang baru, aku merasa aman-aman saja chatting dengan berbagai orang sampai salah satu window membuatku takut.

“Nickname barumu bagus juga ya, Sweet_Cherry… Apa kabar, Rita?”

Jessica

Untuk kesekian kalinya, kulangkahkan kakiku di atas tanah lembap bertabur daun-daun kemerahan yang sudah layu dan mengering. Sepatuku yang kotor berlumuran lumpur kembali memendam diri dalam kubangan dangkal di posisi yang sama seperti setahun yang lalu. Kubungkukkan tubuhku dan kutaruh sebuket karangan bunga lili putih di depan sebuah batu nisan marmer yang memang selalu kukunjungi setiap tahun. Permukaannya yang abu-abu itu terasa dingin ketika kusentuh perlahan. Kusingkirkan beberapa helai rumput kering yang menutupi nama yang terukir di sana. “Jessica Tjandra.” Huruf-huruf itu terpampang dengan indahnya dalam pahatan berwarna emas, sayang sekali ia sudah tak ada untuk melihatnya. Tapi kuharap ia dapat melihat dan menikmati aroma bunga lili kesukaannya yang kubawa dari rumah, semoga juga ia tidak bosan dengan kunjungan-kunjunganku yang rutin. Setidaknya hanya itulah yang dapat kulakukan untuk Jessica, kakak perempuanku yang hampir tidak kukenal.

Umur Jessica dan aku tidak terpaut jauh, hanya dua tahun, tetapi kami tak banyak menghabiskan waktu bersama. Aku sibuk dengan kegiatan belajarku sementara dia sibuk dengan kegiatan mencari pacarnya. Kami betul-betul bertolak belakang, mungkin itulah salah satu sebab mengapa kami berdua tidak cocok satu sama lain pada awalnya. Namun kalau boleh kujujur pada diriku sendiri, aku menyesal terlambat mengenalnya. Jessica memiliki kepribadian yang mengesankan. Dia lincah, cantik, dan ramah. Nilai-nilainya di sekolah mungkin tidak seistimewa nilai-nilaiku tapi justru dia memiliki nilai-nilai yang jauh lebih istimewa jika dibandingkan hanya dengan angka-angka yang tercetak di buku rapor setiap akhir semester.

Aku tak habis pikir mengapa seluruh keluarga mengkambing-hitamkan dirinya, termasuk aku juga. Ia membawa aib bagi keluarga. Itulah yang selalu kuingat selama di bangku SMA. Pokoknya aku tidak boleh menjadi seperti dirinya, aku harus menjadi anak baik-baik yang selalu menuruti semua perkataan orang tua. Ya, aku harus. Bukan karena aku ingin. Perlakuan berbeda orang tua kami terasa sekali terutama ketika kami sudah menginjak usia remaja. Jessica nyaris tidak dipedulikan lagi oleh ayah dan ibuku. Apa pun yang ingin ia lakukan, tak ada yang mencegah. Semua terserah padanya sementara aku? Aku selalu disetir sana-sini sampai bernapas pun rasanya tidak bebas. Aku tidak bisa memiliki kehendak pribadi, semuanya telah diaturkan untukku. Aku tidak tahu apakah hal itu dilakukan kedua orang tuaku karena mereka tidak menyayangi Jessica atau malah sebaliknya. Yang kutahu, Jessica dapat bertindak sesukanya dan aku tidak.

Suatu hari ketika aku benar-benar sudah jenuh dan bosan terus-terusan diatur, Jessica mengajakku untuk berbuat nakal. “Ya sudah, kalau kau bosan, ikut saja denganku ke pesta ulang tahun Rebecca,” ucapnya santai waktu itu. Ia sudah siap berangkat ke pesta tapi ia bersedia untuk menungguku bersiap-siap jika aku ingin ikut dengannya. Hanya saja kebaikan hatinya itu terlambat kusadari.

Sejujurnya aku sempat tergoda untuk ikut ke pesta itu, hampir separuh sekolah datang ke pesta Rebecca, siswi terpopuler di SMA. Kupikir kalau besok tidak ada ulangan Matematika, aku pasti akan pergi. Tapi aku tahu bukanlah itu alasannya mengapa aku menolak ajakan Jessica. Yang tidak kumiliki bukanlah otak yang cukup encer untuk mengerjakan soal Matematika besok melainkan keberanian yang cukup untuk melanggar aturan orang tuaku yang keras. Ya, itulah yang sebenarnya membedakan kami berdua.

Sedikit penyesalan tumbuh dalam hatiku karena telah memilih untuk belajar di rumah malam itu. Aku sama sekali tidak menyadari kalau sebersit perasaan itu adalah awal dari pemberontakanku. Mungkin karena sesungguhnya jiwa kami berdua sama, karena aku dapat melihat sebagian dari diriku ada dalam dirinya. Walau aku berusaha menyangkalnya, fakta tetaplah fakta. Jessica dan aku bersaudara, dan apa pun yang terjadi, nadi kami tetap membawa darah yang sama karena kami lahir dari satu rahim. Hubungan kami tidak dapat dipisahkan begitu saja. Yang aku heran, mengapa ibuku tidak berpemikiran yang sama denganku? Beliau bahkan lebih berkesan menjauhkan diri dari Jessica, satu hal yang baru dapat kumengerti setelah kepergian kakakku itu.

Dulu aku selalu berpikir kalau Jessica-lah yang tidak ingin dekat denganku, kalau ia-lah yang sombong dan tak mau peduli padaku. Lambat laun aku baru tersadar. Aku baru bisa melihat bahwa kenyataannya aku-lah yang demikian. Memang tak sepantasnya aku menyalahkan kedua orang tuaku, tapi aku terpaksa mengakui kalau mereka-lah yang membesarkanku dengan doktrin semacam itu. Sejak kecil aku diajar untuk tidak menjadi Jessica. Mereka memang berniat menjauhkan aku darinya, demi kebaikanku katanya. Bukannya aku tak percaya kata-kata mereka namun karena “tindakan demi kebaikanku” itulah aku kehilangan enam belas tahun kesempatan untuk dapat mengenal Jessica Tjandra, kakakku satu-satunya.

Mataku baru mulai terbuka saat seorang dari teman dekat Jessica datang ke rumah di tengah hujan deras. Hari sudah larut dan kedua orang tua kami sudah tertidur pulas. Temannya itu menyelinap masuk ke kamar kami. Ia baru saja ditinggalkan pacarnya yang kini sudah memacari perempuan lain katanya. Kasihan sekali. Tapi aku tidak terlalu peduli.

“Memangnya hanya karena dia patah hati, dia boleh seenaknya mengganggu tidurku? ‘Kan besok pagi aku harus ujian, Jes! Suruh saja dia pulang, dia ‘kan bukannya tidak punya rumah atau orang tua,” kataku protes ketika Jessica mengatakan padaku kalau temannya itu akan menginap di kamar kami.

Pada waktu itulah pertama kalinya aku melihat sesuatu yang lain di wajahnya. Ia menamparku. Ya, ia marah sekali. Tapi aku juga menangkap segores perasaan sedih di kilat matanya. “Jennifer! Hentikan! Dasar egois! Tak pernahkah kau memikirkan orang lain selain dirimu dan ulangan-ulangan sialanmu itu?”

“Oh ya? Sejak kapan kau pantas menjadi guruku, Jes? Kau bahkan hampir tidak naik kelas!” bentakku keras karena aku tidak suka dikritik.

“Kukira kau hanya tak punya otak, Jen, ternyata kau juga tak punya hati!” ucapnya lalu langsung mengajak temannya meninggalkan rumah.

Ia tidak pulang semalaman, entah dia pergi menginap di mana bersama temannya itu. Aku hanya takut kalau ayah atau ibuku menanyakan keberadaannya yang jelas tidak kuketahui. Jessica jahat, ia memukulku, hanya itu yang dapat kupikirkan sepanjang hari. Tentu saja aku tak mengerti sikapnya kemarin malam sebab aku tidak punya teman. Aku selalu menjadi seorang penyendiri di mana pun aku berada. Mana aku tahu tentang kesetiakawanan atau apa itu persahabatan?

Setelah peristiwa malam itu, aku mulai mengamati keadaan di sekelilingku, mencoba mencari tahu apa yang mendorong Jessica untuk berbuat seperti itu. Kuperkirakan apa untungnya bagi dirinya jika bertindak demikian. Tak ada jawaban yang cukup memuaskan. Semuanya terlihat janggal dan aneh. Tak ada alasan kuat yang mendukung tindakannya tapi tetap ia lakukan, mengapa? Apakah dia sebodoh itu? Kurasa tidak mungkin. Aku terus mencari jawaban atas pertanyaanku sampai pada akhirnya aku menyerah, aku tak bisa menjawabnya sendiri. Jadi kuputuskan untuk bertanya langsung padanya saja.

Satu-satunya jawaban yang dapat ia berikan hanyalah persahabatan. Ya, persahabatan sejati yang juga ia tawarkan padaku. Berkat dirinya aku mengenal apa artinya menjadi seorang teman. Beribu-ribu terima kasih takkan cukup membayar jasa yang telah ia berikan. Ia membuatku mengenal nilai-nilai yang jauh lebih berharga daripada nilai-nilai yang selama ini kukejar setengah mati dengan belajar siang-malam. Dirinya telah membuka sudut pandang baru dalam hidupku.

Kupejamkan mataku dan kutundukkan kepalaku. Air mata tetap merembes keluar. Aku salah ketika kupikir dengan menutup kelopak mataku rapat-rapat, aku takkan menangis. Oh, Jessica… Sampai detik ini pun kenangan akan dirinya selalu membangkitkan emosi-emosi tertentu yang telah berusaha kupendam. Aku takkan pernah bisa lupa akan hari itu, hari di mana aku terakhir kali melihatnya bernapas.

Dari pagi kulihat ia sudah berdandan rapi. Ia mengenakan pakaian terbarunya yang paling bagus. Aku agak heran melihat tingkah lakunya itu sebab ulang tahunnya masih besok. Ia bahkan terlihat lebih cantik daripada saat ia pergi dengan kencan pertamanya. Memangnya ada apa sih hari ini? pikirku waktu itu. Memangnya ia punya acara apa?

Ia mengajakku ke mana pun ia pergi. Mulai dari makan siang di sekolah sampai jalan-jalan dengan semua sahabat karibnya. Wajahnya begitu cerah, siapa yang menyangka kalau hari itu akan berakhir dengan kelabu? Ia ingin melewatkan hari ini bersama orang-orang yang ia sayangi katanya. Semestinya aku sudah menyadari makna yang tersirat dalam perkataannya yang aneh itu tapi tidak, aku malah menganggap penyakit ‘gila’-nya sedang kambuh. Kadang-kadang ia memang suka bertingkah yang bukan-bukan tapi hari itu benar-benar berbeda. Semua yang dikatakannya seperti pesan-pesan terakhir orang yang sekarat. Dan pada saat itulah kemarahanku meledak.

“Kamu kenapa sih, Jes? Dari tadi bicaramu melantur terus!” omelku.

Ia malah melihatku sambil tersenyum. “Kau yang kenapa, Jen? Aku tidak apa-apa, aku hanya ingin bersenang-senang dengan kalian semua saja.”

“Ya, aku mengerti tapi ini ‘kan sudah malam. Aku mau pulang.”

“Ya, ampun, Jen, ini baru jam sembilan. Ayolah, sekali ini saja pulang malam ‘kan tak apa-apa.”

Meskipun kesal dan tidak setuju, aku tetap ikut bersama mereka. Aku amat mensyukuri keputusanku itu sekarang, padahal aku tidak biasanya mengalah begitu saja, apalagi pada Jessica. Wajahku yang kecut sepertinya sama sekali tidak mengganggu kawanan kakakku. Mereka tetap menikmati malam itu tanpa peduli pada kedongkolanku.

Jessica melihat arloji hadiah dari pacar pertamanya. Itu adalah kesekian kalinya aku memergokinya. Setiap kali ia melihat jarum-jarum jam, ia kelihatan gelisah. Waktu terus berjalan, dan bukan hanya dia yang gelisah dengan semakin larutnya malam, tapi aku juga demikian. Adalah salah besar ketika aku mengira bahwa alasannya gelisah hanyalah karena takut pulang kemalaman sebab alasannya jauh lebih dari itu.

“Jes, ini benar-benar sudah malam, ayo kita pulang,” ajakku sekali lagi, berharap permintaanku akan dikabulkan. Aku tak mau jika besok pagi, ayah dan ibu memarahiku dan menanyakan hal yang macam-macam padaku, aku paling tidak suka mengadu urat saraf sewaktu sarapan bersama mereka.

“Mmm… sebentar lagi ya, Jen. Aku masih ingin melihat malam.”

“Aduuuhhh… memangnya besok kiamat apa? Besok malam juga masih tetap ada, dia takkan ke mana-mana, kok. Ini sudah hampir jam dua belas.”

“…” Ia terdiam sesaat sebelum akhirnya ia mengembangkan senyumnya yang lebar. “Baiklah, kita pulang. Ayo…” Usai mengatakan kalimat itu, Jessica merasakan sakit yang teramat hebat di kepalanya. Ia tidak berteriak tapi walaupun begitu, aku tahu sakit kepalanya itu benar-benar luar biasa. Semuanya terlukis di wajahnya yang memucat seketika. Aku langsung berteriak-teriak memanggil semua temannya sementara tanganku memeluknya erat-erat. Ia segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Kedua orang tuaku datang sekitar sepuluh menit setelah aku menelepon mereka dari rumah sakit. Baru kali ini aku melihat kecemasan yang membayang jelas di raut wajah mereka. Kupikir Jessica mati pun mereka takkan peduli. Kelihatannya ibuku habis menangis. Matanya masih merah dan air mukanya begitu sedih. Ayahku yang biasanya sekaku kayu pun terlihat begitu cemas.

“Mana Jessica?” tanya ibuku dengan suara lirih.

“Para dokter masih menanganinya. Aku juga masih belum boleh bertemu dengannya,” jawabku lesu.

“Duduklah, Jen, ada yang harus kau ketahui tentang kakakmu,” kata ayahku sambil meremas bahuku lalu mengajakku duduk di ruang tunggu bersamanya.

Kebenaran yang selama ini kucurigai disembunyikan mereka berdua akhirnya dibongkar juga, hanya saja kebenaran yang mereka ceritakan padaku itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jessica mengidap kelainan di otaknya sejak lahir. Menurut dokter ahli yang memeriksanya, kemungkinan ia akan sembuh nyaris nol dan kalaupun ia sembuh, itu adalah mukjizat. Mereka semua membohongi aku selama enam belas tahun, merahasiakan hal yang berhak kuketahui. Ayah dan ibu selalu menjaga jarak dengannya sebab mereka takut kalau mereka tidak sanggup untuk kehilangan dirinya bila mereka membiarkan diri mereka terlalu dekat dengan Jessica. Mereka juga mencoba melindungiku dari perasaan sedih yang mungkin takkan pulih jika aku terlanjur menyayanginya. Aku hampir tak percaya dengan apa yang mereka katakan padaku. Sandiwara yang berlangsung selama enam belas tahun… dan satu-satunya tokoh yang bodoh hanyalah aku seorang.

“Aku benci kalian! Teganya kalian mengelabuiku! Dia kakakku dan aku berhak untuk bisa dekat dengannya walaupun bukan selamanya! Kalian juga egois! Bukannya menghabiskan setiap detik bersamanya kalian malah mementingkan diri sendiri. Aku tak percaya kalian sanggup melakukan ini semua! Kejam!” Kata-kataku meluncur begitu saja tanpa ada pertimbangan lagi. Aku sungguh berang saat itu dan aku tak peduli bila aku akan menjadi anak durhaka dengan berbicara demikian.

Seorang dokter mendatangi kami, memotong ocehan-ocehanku yang mungkin akan segera melantur ke sana ke mari. “Kalian keluarga Jessica Tjandra? Kurasa lebih baik kalian masuk dan menemuinya.”

Aku langsung berlari dan meluncur masuk ke ruang tempat Jessica tengah berbaring dengan begitu banyak selang menembus tubuhnya. Kuhampiri gadis yang terkulai lemah di atas ranjang rumah sakit itu perlahan, aku tak mau mengganggu tidurnya.

Di luar dugaan, ia menoleh ke arahku. “Ah, Jennifer… Kemarilah, aku punya sedikit cerita.”

Aku tak kuat menahan air mataku. Sambil terisak, aku mendekatinya. “Aku sudah tahu, Jes. Papa dan Mama sudah menceritakannya padaku tadi.”

“… Kau tahu, aku lebih suka melewatkan sisa waktuku dengan menikmati hidup daripada merenungi nasib sambil menunggu ajal menjemput. Itulah sebabnya mengapa kami semua merahasiakannya darimu. Kau tidak membenciku, ‘kan?”

Aku menggeleng. “Aku tak tahu harus berkata apa padamu, Jes, aku belum sempat menghabiskan banyak waktu bersamamu, jangan pergi sekarang…”

“Sshhhtt… Dengarkan aku, jangan menangis. Biarpun kau tidak begitu mengenalku, kau sayang padaku ‘kan?” Aku heran di saat-saat kritis seperti itu, ia masih bisa bercanda. “Dan sekarang, aku ingin memberitahumu kalau dokter-dokter itu bodoh semua. Kata mereka aku takkan bertahan melewati usia delapan belas.”

Aku menatapnya dengan kening berkerut.

Seakan dapat membaca pikiranku, Jessica tersenyum simpul lalu menunjuk ke arah jam dinding di seberang ranjangnya. Pukul 12.16. Sudah lewat tengah malam. “Aku sudah sembilan belas tahun,” bisiknya.

Tepat setelah ia berbisik seringan angin, denyut jantungnya berhenti berdetak. Monitor pemantaunya pun menunjukkan garis lurus. Jessica sudah pergi…

Panggilan seseorang membuyarkan lamunanku. “Jennifer! Sedang apa kau di situ? Lama sekali. Sudah mau hujan, nih.”

“Iya, tunggu sebentar.” balasku seraya berteriak. Itu tadi suamiku. Ia pasti tidak betah berada di kuburan lama-lama, aku harus segera kembali. Sampai jumpa tahun depan, kakakku sayang. Aku akan datang lagi dengan bunga-bunga lili dalam genggamanku.

Aku pun bangkit berdiri. Sekali lagi kutatap batu nisan di hadapanku itu. “Kau benar, Jes. Dokter-dokter itu memang bodoh tapi mereka lebih bodoh lagi daripada yang kaupikir. Kau akan selalu hidup dalam hatiku. Selamat ulang tahun yang ke-30.”