Perawat itu sedang membungkuk mengambil mangkuk rumah sakit yang jatuh sekaligus membersihkan bubur encer yang tercecer di lantai dengan agak kesal ketika seorang wanita muda berpenampilan menarik datang. Si perawat yang mengoceh sendiri langsung terdiam begitu ia menyadari kehadiran tamu pasien ‘nakal’-nya yang menolak untuk makan bubur sesendok pun. Dia lagi… pikirnya. Namun bertentangan dengan suasana hatinya yang buruk, ia melempar senyum yang kelihatannya cukup tulus. “Sore, Nyonya.”
“Sore,” balas wanita itu dengan tata bicara yang halus dan sopan. “Dia tidak mau makan apa-apa lagi ya, Suster?” Ia mengernyit penuh rasa bersalah seakan merasa telah merepotkan si perawat.
Perawat bertubuh gempal itu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, “Dia memang selalu begitu setiap hari. Padahal kukira setelah seminggu di sini, kami bisa melepas infusnya dan membiarkan dia makan dengan normal. Ternyata…”
“Ya… aku tahu. Terima kasih. Bisa tolong ambilkan bubur lagi? Saya akan mencoba membujuknya makan,” kata wanita muda itu sambil melepas kacamatanya dan memijat dahinya. Matanya terlihat begitu letih dan kerutan di bawah lekukan matanya menunjukkan bahwa ia sudah tidak muda lagi. Meskipun kedua bola matanya amat indah namun cahayanya begitu redup, tertutup selaput-selaput duka dan sisa air mata.
“Tentu.” Perawat itu pun bergegas pergi meninggalkan kamar. Sebetulnya ia tidak terlalu peduli dengan pasien yang dirawat inap di kamar itu sebab perilakunya benar-benar menyebalkan. Tak pernah merespon walau sekeras apa pun orang lain berusaha menarik secuil perhatiannya. Akan tetapi ia merasa iba pada sang tamu yang terus-menerus datang dan tak pernah putus asa mencoba menyadarkan sang kerabat yang terganggu mentalnya.
Wanita muda yang hanya dikenal lewat penampilan berkelas dan harum bau parfumnya yang lembut oleh para personel rumah sakit jiwa yang terpencil di pinggiran kota itu selalu datang mengunjungi kamar 18A di jam yang sama setiap harinya. Sejak hari pasien nomor 18A dirawat di sana, satu-satunya tamu yang datang hanyalah wanita itu, tak ada yang lain. Semua sudah hafal dengan kebiasaan si tamu setia. Selalu datang masih dalam setelan kerja dan sepatu berhak 7 senti dengan model sederhana meski warnanya disesuaikan. Dan ia selalu minta ditinggal berdua saja dengan sang pasien. Ia bisa tinggal di kamar itu lama sekali, kadang sepanjang malam, kadang sampai fajar menyingsing. Tak ada yang tahu apa yang ia lakukan di sana. Para perawat yang kebetulan lewat hanya dapat mendengarnya bercerita dan berbicara namun tak pernah sekali pun mendengar suara si pasien menanggapi kata-katanya.
“Rena, ini aku, Mia. Gimana kabarmu hari ini?” tanya wanita itu seraya berlutut di kaki si pasien, seorang wanita berambut panjang yang sedang menunduk di kursi rotan yang menghadap ke jendela kamar. Sinar kemerahan sang mentari yang hampir tenggelam menyinari sosok yang terbalut dalam seragam putih rumah sakit itu. Seperti biasa memang tidak ada tanggapan apa-apa. Mia pun tidak berharap banyak. “Aku buka jendelanya, ya? Anginnya segar, kok, kamu pasti suka.”
Bahkan ketika semilir angin senja yang membawa aroma bunga-bunga padang masuk menerobos di antara tirai yang terbuka lebar dan menebak rambutnya yang kusut, Rena tidak bergerak.
Mia duduk di kusen jendela, menikmati hembusan angin di punggungnya, melemaskan otot-ototnya yang kaku karena perjalanan 2 jam yang telah ditempuhnya untuk dapat tiba di situ. Namun perhatiannya tidak terarah pada keindahan langit yang berangsur gelap. Dengan tatapannya yang prihatin diperhatikannya Rena, sang kakak yang dulu pernah hidup normal bersamanya.
Ya, Tuhan… Apa yang telah kulakukan? ratapnya dalam hati. Melihat keadaan Rena sekarang membuat hatinya seakan teriris-iris. Inikah Rena Wijaya yang selalu berbagi suka-duka dengannya? Rena yang “hidup” bukan yang hanya duduk diam dengan kepala tertunduk, yang bahkan tidak menyahut bila diajak berbicara. Wanita yang dapat dilihat Mia sekarang hanyalah Rena tanpa jiwa.
Mia beranjak dari jendela dan kembali berlutut di depan Rena. Perlahan disibaknya rambut Rena yang terjuntai tak beraturan menutupi wajahnya. Masih segar dalam ingatan Mia betapa halus dan indahnya rambut Rena dulu. Ia meraih sebuah sisir dari dalam tas tangannya kemudian mulai menyisir rambut kakaknya yang kini sudah kusam dan kusut. “Dari dulu aku selalu mengagumi rambutmu, kau ingat? Papa-Mama juga bilang kalau rambutmu adalah yang paling bagus di seluruh keluarga. Aku selalu berharap memiliki rambut sepertimu dan kau akan selalu mengejekku dengan sebutan ‘si sirik’ bila aku mengatakannya.” Mia pun tertawa mengenang masa-masa bahagia yang telah ia lalui bersama Rena.
Ketika kedua orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan mobil belasan tahun silam, Mia hanya punya Rena. Dan Rena sebagai anak sulung tidak pernah sekali pun melalaikan tugasnya menjaga sang adik. Rena selalu bersikap protektif dan Mia juga selalu menurut sampai seorang pria bernama Yos masuk ke kehidupan mereka…
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Mia. Bubur baru sudah datang. Perawat yang tadi masuk lalu menaruh nampan berisi semangkuk bubur hangat dan sepoci teh manis di atas meja tempat obat yang terletak di sisi ranjang. “Saya tinggal di sini, ya?” ucapnya.
“Oh iya, terima kasih banyak lho, Suster,” balas Mia sambil tersenyum.
Perawat itu membalas senyumnya sesaat sebelum ia keluar.
Mia mengambil bubur dari atas nampan, menggeser sebuah kursi lipat ke sebelah Rena dan duduk di sana. “Nah, ayo kita makan. Aku sambil cerita, deh.” Diambilnya sesendok bubur dan ditiupnya agar sedikit mendingin lalu disodorkannya ke mulut Rena, berharap kakaknya itu mau membuka mulut dan makan walau hanya sedikit.
“Ayo dong, Ren, makan,” bujuk Mia. “Kamu ingat si Anggi nggak? Kamu yang bilang lho kalau malas makan jadinya bisa ceking kayak dia. Hayo… masa kamu mau jadi ceking begitu? Ayo dong, makan.”
Mulut Rena tak kunjung terbuka. Pandangan matanya pun tetap kosong.
“Ren…” panggil Mia dengan suara yang mulai serak. Tangannya yang memegang sendok bergetar namun ia tetap mempertahankan posisinya di depan mulut Rena yang terkatup rapat. “Ren, tolonglah… kau harus makan. Sedikiiit saja, ya?”
Setelah menunggu selama lebih kurang lima menit, Mia tahu respon yang diharapkannya tak akan muncul. Matanya berkaca-kaca dan walaupun ia bergerak cepat, menaruh sendok kembali ke mangkuk bubur lalu menyeka matanya dengan punggung tangannya, setetes air matanya masih sempat terjatuh.
“Bagaimana aku bisa mengembalikanmu seperti sedia kala, Ren? Tolong bantu aku. Aku tidak bisa melakukannya sendirian.” Napas Mia semakin sesak begitu teringat bahwa ia-lah yang menyebabkan Rena menjadi seperti sekarang. Ya, ia dan Yos yang membuat kakaknya menderita seperti sekarang.
Tadinya semua baik-baik saja. Kakak-adik yang saling menyayangi. Siapa yang menduga kalau seorang bajingan macam Yos dapat merusak hubungan yang mereka miliki? Tapi itu terjadi dan kini Mia hanya dapat menyesal.
Mia masih ingat saat pertama kali Rena pulang dan mengenalkan teman kantornya yang baru, seorang pria tampan dengan senyum yang menawan. Namanya Yos. Hanya tiga huruf, begitu singkat namun tidaklah singkat kesan yang ditinggalkannya pada Mia. Rena sudah lama menyukai Yos, Mia juga tahu, siapa yang tidak? Rena selalu membicarakannya setiap waktu. Tapi Mia sama sekali tidak dapat membendung perasaannya apalagi begitu mengetahui Yos menanggapinya.
“Aku memang bukan adik yang baik. Maafkan aku,” bisik Mia.
Seharusnya Mia mundur. Toh, tidak salah mengalah sekali ini saja pada kakaknya. Rena sudah sering mengalah dalam banyak hal: sekolah, pekerjaan… Tapi Mia memang anak egois, manja dan terbiasa hidup enak. Beberapa bulan kemudian, Yos mengaku kalau ia lebih memilih Mia daripada Rena. Walau pada awalnya ia tertarik pada Rena yang cantik, ia mengaku pada Mia kalau setelah dikenalkan dengan sang adik, ia langsung jatuh cinta.
Rena amat berang sewaktu mengetahui adiknya telah menikamnya dari belakang. Ia marah, ia sakit hati dan ia sangat sedih. Tapi tak sedikit pun rasa dendam membekas di hatinya. Ia terlalu menyayangi Mia untuk bisa membencinya meski gadis itu sangat pantas untuk dibenci. Luka mana pun membutuhkan waktu agar bisa sembuh dan Rena membutuhkan beberapa minggu sebelum ia bisa berbicara kembali dengan Mia tanpa perasaan marah yang meluap-luap. Rena merelakan pria itu pergi kepada Mia sebab ia menganggap Yos tidak seberharga itu untuk dibayar oleh hubungan erat kakak-adik yang selama ini telah terbina dengan baik. Sayang sekali dulu Mia tidak berpikir begitu…
“Seharusnya aku menurutimu, Ren. Bisa-bisanya aku tidak percaya padamu… Tidak semestinya aku menikahi bajingan itu!” bisik Mia ringan namun penuh dengan emosi.
Betapa cinta itu buta. Ia ingat kata-kata kejam yang ia lontarkan saat Rena yang tadinya sudah memberikan restu tiba-tiba melarang pernikahannya dengan Yos yang sudah di ambang pintu.
“Kau cuma cemburu, ‘kan? ‘Ngaku saja! Kamu tidak bisa terima kalau Yos lebih memilih aku daripada kamu! Iya, ‘kan? Kenapa sih kamu tidak suka melihat adikmu sendiri senang?”
“Mia, bukan begitu! Aku mau kamu senang! Itu sebabnya aku takkan mengijinkanmu menikah dengan pria macam Yos!” bantah Rena keras.
“Kamu jahat! Dasar egois! Aku benci kamu!!!” jerit Mia yang sudah tidak dapat menahan emosinya saat itu.
Dan beberapa menit kemudian perdebatan itu dipenuhi dengan air mata, air mata Rena. “Kau harus percaya padaku, Mi…” pintanya dengan memelas.
“Aku selalu percaya padamu, Ren! Tapi tidak kali ini!”
“Ia bukan pria baik-baik. Ia hanya ingin memanfaatkanmu, ia hanya ingin merebut warisan Papa, Mi. Aku takkan melakukan apa pun untuk menyakitimu, kau adikku satu-satunya. Mana mungkin aku berbuat begitu?” sambung Rena cepat.
“Sudah, aku tak mau dengar lagi!” seru Mia sambil menutup kedua daun telinganya kuat-kuat. “Aku akan tetap menikah dengan Yos! Kau kira kau siapa? Aku tidak butuh persetujuanmu! Bahkan kalau besok kiamat pun, aku akan tetap menikah dengan Yos, kau dengar?”
Rena sudah memperingatkannya tapi Mia tidak mau dengar. Di mata Mia, Yos adalah sosok lelaki yang sempurna, tiada bandingannya sebab ia begitu tergila-gila pada makhluk jantan yang satu itu. Kata-kata Rena tak lebih dari gonggongan anjing liar di telinga Mia, hingga suatu hari…
Akhir pekan itu Mia dan Yos akan merayakan ulang tahun perkawinan mereka yang kedua. Mia sengaja pulang lebih awal dari kantor untuk mengejutkan suami tercintanya. Akan tetapi kejutan yang ia persiapkan tidak semencengangkan kejutan yang menunggunya di rumah.
Rumah begitu sepi, entah ke mana para pembantu dan tukang kebun. Yang lebih mengherankan lagi, ruang keluarga betul-betul kacau balau. Perabotan berserakan. Permadani begitu kusut. Vas-vas porselen antik yang menghiasi ruang bercat merah muda pastel dan berlampu kuning lembut itu hancur berantakan. Sudah seperti kemasukan maling saja. Mia sudah hendak marah besar pada para pembantunya ketika sudut matanya menangkap sesuatu di balik sofa.
Dengan tidak sabar Mia melangkah ke arah sofa yang membelakanginya. Matanya membelalak seketika dan mulutnya membuka tanpa suara. Lututnya langsung lemas, memaksa tubuhnya ambruk bersama dengan tetesan pertama air matanya. Meski dadanya terasa amat sesak, ia terus berjuang untuk bernapas. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa membatu di sana, meratapi apa yang dilihatnya, berharap itu hanya sekadar imajinasi yang dihasilkan oleh pikirannya yang sudah mulai menggila.
“Siapa yang melakukan ini padamu?” ucap Mia parau. Diulurkannya tangannya yang gemetar ke arah saudarinya yang terkulai lemah tak berdaya di atas lantai. Wajah Rena terlihat kosong namun matanya terus-menerus mengalirkan air mata. Pakaiannya koyak di sana-sini, membuatnya nyaris tidak tertutupi. Tubuhnya penuh bekas-bekas penganiayaan, memar-memar yang masih baru. Darah menodai salah satu sudut bibirnya yang pecah sementara sebelah lubang hidungnya mengalirkan darah segar. Membayangkan apa yang telah terjadi pada Rena membuat Mia mual.
Sebelum Mia sempat berbuat lebih lanjut, pembantu keluarga mereka yang paling tua, Bibi Mirah, datang menarik Mia – yang sepertinya belum kembali ke realita – pergi ke luar rumah cepat-cepat. “Kok Non sudah pulang jam segini? Bahaya, Non, bahaya. Kalau Tuan balik lagi, bahaya. Non Mia pergi saja, ya? Tuan gila, Non,” kata Bibi Mirah sambil membimbing Mia setengah berlari melintasi halaman depan.
Tepat setelah Bibi Mirah selesai berkata, Mia menghentikan langkahnya. Kedua matanya yang masih digenangi air mata segera berkilat penuh murka dan benci. “Tuan? Jadi Non Rena…” Mia tidak perlu melanjutkan perkataannya, Bibi Mirah sudah mengangguk-angguk sedih. Ia baru saja akan menyalahkan Bibi Mirah dan para pembantu lainnya ketika ia sadar bahwa kesalahan sebenarnya terletak di tangannya. Bibi Mirah sudah uzur dan pembantu lainnya pasti takut pada sang majikan. Siapa yang dapat menyalahkan mereka? Kenyataan ini semakin membakar hati Mia.
Mia langsung memutar tubuhnya kembali ke arah rumah dan bergegas ke ruang keluarga dengan gusar. Napasnya memburu. Dadanya bergemuruh, penuh sesak dengan kemarahan yang tidak terkira. “Kubunuh kau, Yos!” hanya kata-kata itu yang ada di kepalanya, menuntunnya ke dapur dan membuatnya tiba di ruang keluarga dengan sebilah pisau tajam tergenggam di tangannya.
Pria itu sedang berdiri di dekat Rena, tersenyum licik dan meledek sambil mengisap rokoknya yang sudah tinggal separuh. “Rena, Rena, coba kamu jangan sok pintar…” ucapnya lalu terkekeh seakan-akan apa yang barusan dikatakannya itu lucu.
Mia betul-betul muak. Cukup sudah penipuanmu, lelaki sampah! pikirnya. Ia baru sadar bahwa Yos lebih memilihnya bukan karena ia lebih cantik atau lebih menarik tetapi karena ia lebih bodoh, jauh lebih bodoh. Mia sudah mata gelap, otaknya sudah tidak berpikir. Kaki Mia terasa ringan sekali, melaju secepat angin menuju Yos. “Bajingan kau!” Ia tak ingat apa-apa lagi kecuali darah yang menyembur ke wajahnya dan tubuh Yos yang roboh dengan pisau dapur tertancap di jantungnya.
Mia mengambil kembali bubur yang tadi ditaruhnya, mencoba menyuapi Rena untuk kesekian kalinya. Ia memang telah membunuh Yos di rumahnya sendiri tapi berkat uangnya yang banyak, Mia dapat luput dari mata hukum. Seorang kambing hitam mengakui tindak pidana itu dan sebagai gantinya Mia cukup menyantuni keluarga pria tak dikenal itu dengan uang yang cukup untuk hidup mewah. Yah, begitulah hidup di zaman edan ini… Mia mengaduk mangkuk putih itu lalu mengangkat sesendok bubur untuk Rena.
“Tidak apa-apa, aku tidak menyesal, kok. Yos pantas mati, apalagi setelah ia menyentuhmu, Ren. Tapi yang paling kusesali adalah kebodohanku. Jika aku bisa mengulang semuanya, aku akan mendengarkanmu, supaya kau tak mengalami hal seburuk ini. Sambil makan ya, Ren? Ayolah, hanya sedikit…” Mia terus membujuk Rena agar mau makan.
Perlahan mulut Rena membuka. Sesendok bubur pun masuk ke rongga mulutnya lalu sendok kedua menyusul kemudian sendok ketiga. Namun setelah sendok ketiga Rena memuntahkan semuanya.
Dengan sabar Mia hanya dapat membersihkan muntahan kakaknya dan mencoba lagi. “Jangan khawatir, Ren. Mulai sekarang aku yang akan menjagamu.”
Setelah itu, Mia mengangkat sesendok bubur yang lain lagi. “Nah, ayo! Makan lagi ya?”
Mulut Rena kembali terkatup rapat.
Mia menarik napas pendek sebelum menggunakan bujukannya yang ampuh. “Kamu makan, Ren, nanti aku ‘kan sambil cerita. Kamu suka ‘kan dengar cerita? Apalagi tentang kebodohan adikmu ini, kau pasti suka sekali. Aku masih punya banyak cerita. Masih ingat waktu kita memanjat pohon mangga tetangga…”
Mulut Rena pun membuka dan Mia dapat memasukkan sesendok bubur, berharap kali ini takkan dimuntahkan kembali. Tapi walau dimuntahkan seribu kali pun, ia akan tetap di sana, mencoba menyuapi sang kakak sambil bercerita, bernostalgia indah bersama kenangan-kenangan manis yang telah berlalu.