“Nana! Ada yang pingsan!” seru seorang siswi berseragam putih-abu-abu sambil berlari mengejarku dari belakang.
Kuhentikan langkahku lalu menoleh ke arahnya. “Hah? Di mana?” tanyaku cepat.
Ia membutuhkan beberapa menit untuk dapat menjawab pertanyaanku karena ia agak kesulitan mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Di… di… aduuuh, itu loh, di depan kelas 2-2.”
Meskipun agak enggan, aku tetap melesat pergi ke lantai dua di mana kelas 2-2 berada dengan berlari. Sebagai seorang anggota Palang Merah Remaja yang masih aktif, aku sering membantu para petugas UKS menangani kecelakaan-kecelakaan kecil di sekitar sekolah. Sebenarnya aku agak malas mengurusi hal-hal semacam itu lagi. Aku berniat keluar dari PMR sejak tahun lalu tapi hingga kini niatku itu belum sempat terlaksana. Pada dasarnya aku menyukai segala sesuatu yang berbau kesehatan. Aku selalu mengagumi organisasi netral yang didirikan oleh Henry Dunant itu. Tetapi, aku tidak ingin disamakan dengan ibuku si perawat yang andal. Semua orang menuntutku untuk mengikuti jejaknya. Mereka ingin agar aku menjadi seperti beliau. Aku tidak mau. Aku adalah aku, dan aku berbeda dengan ibuku. Kurasa itulah alasan utama mengapa aku ingin berhenti saja menjadi anggota PMR. Ya, supaya aku terlihat berbeda dengan ibuku.
Ketika aku tiba di depan kelas 2-2, kerumunan murid-murid nyaris tak terbendung. Aku sulit sekali menembus mereka untuk menjemput ‘pasien’-ku yang pasti berada di tengah. Sambil terus mengucapkan kata permisi dan maaf, aku menyelip melalui celah mana pun yang dapat kutemukan yang bisa membuka jalanku ke tengah kerumunan.
Setelah usaha keras yang akhirnya membuahkan hasil, aku mendapatkan petugas UKS-ku yang telah menunggu kedatanganku. Di pahanya yang sejajar dengan lantai, kepala si siswa yang terluka terkulai dengan lemasnya.
“Ayo, Na! Bawa ke UKS,” kata Bu Prita, penanggung jawab kesehatan di sekolahku yang merupakan satu-satunya petugas UKS yang masih belum pulang sore itu.
Tak lama kemudian, berkat kerja sama yang baik antara aku dan Bu Prita, siswa itu berhasil dibaringkan di ranjang UKS yang sudah agak keras. Kuperhatikan dengan seksama kepala siswa yang bocor itu. Kelihatannya sih terkena kaca jendela yang pecah tapi aku menganggapnya agak tidak masuk akal mengingat setiap jendela kelas di gedung sekolahku berada cukup tinggi, persis di bawah langit-langit, lagipula ‘kan ada jeruji besi yang dipasang sebagai lapisan penangkal bola-bola yang nyasar dari lapangan. Jadi, satu-satunya kemungkinan kalau memang benar ia terkena kaca jendela kelasnya, ia pasti sedang memanjat dinding kelasnya sendiri dari dalam. Tapi… untuk apa ia berbuat demikian?
Lamunanku buyar saat Bu Prita memanggilku. “Na, aku sudah harus pulang sekarang, lho. Aku sudah janji sama anakku buat ‘nganter dia ke les,” katanya dengan logat Jawa yang masih sangat kental.
“Oh…” ucapku sambil mengangguk-angguk. Waduh, gimana ini? Seharusnya aku sudah berada di laboratorium Biologi dua puluh menit yang lalu untuk praktikum tapi kalau begini… Siswa itu tak mungkin ditinggal sendiri dan kalau Bu Prita harus pergi berarti aku yang harus menungguinya sampai orang tuanya datang menjemput.
“Kenapa, Na?” tanya Bu Prita. “Kamu ada praktikum?”
Aku berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaan itu dengan tidak jujur. “Ah, enggak, kok. Aku cuma ada rencana pulang lebih cepat hari ini. Nggak ada acara apa-apa, kok. Ibu pulang aja deh.”
“Ya sudah, aku pulang ya? Makasih loh, Na.”
Bu Prita pun pergi.
Yah, inilah aku. Kenapa selalu sulit rasanya bagiku untuk menolak permintaan orang lain? Selalu merasa tidak enak jika tidak membantu. Kalau dipikir-pikir, aku nekat juga. Ini sudah yang kedua kalinya aku membolos praktikum Biologi demi urusan UKS yang sudah kuanggap seperti kewajiban itu. Tapi bagaimana yah? Sesuatu dalam hatiku memaksaku untuk tidak membiarkan siswa itu sendirian atau membiarkan Bu Prita membatalkan janjinya.
Sudah pukul 17.15. Sekolah sudah sepi. Semua kegiatan ekstrakurikuler berakhir pada pukul lima sore dan lima belas menit lagi, kelasku akan selesai praktikum. Semoga saja aku diperbolehkan ikut praktikum susulan dengan kelas lain, kalau tidak aku tidak tahu bagaimana nasibnya nilai pelajaran favoritku itu.
Sambil menunggu orang tua siswa itu datang, aku membolak-balik majalah yang ada di UKS. Mataku terasa semakin berat. Sebenarnya aku memang kurang tidur dari kemarin. Tadi pagi ada ulangan Sejarah dan bahannya banyak sekali. Dipelajari sampai jam tiga pagi pun bahannya belum habis. Mengerikan sekali, bukan? Aku terus melihat halaman-halaman majalah yang mungkin terbitnya sudah lima tahun yang lalu itu. Isinya begitu-begitu saja, tidak ada yang menarik. Oleh sebab itu, aku mengambil buku tahunan sekolahku dan membacanya sekalian mencari nama dan data-data lain ‘pasien’-ku.
Hmmm… coba kulihat sekali lagi wajahnya… Tidak terlalu buruk, apalagi nanti setelah jahitan di kepalanya yang bocor itu nanti dibuka. Aku kembali membuka lembaran-lembaran berikut sampai aku menemukan fotonya yang dicetak setahun yang lalu sewaktu ia masih kelas satu SMA. Namanya Andri Lukito. Tapi, kenapa aku tak pernah melihatnya, ya? Aku yang terlalu sibuk dengan berbagai macam kegiatanku atau dia yang kurang bergaul?
Suara guntur yang tiba-tiba menggelegar mengejutkanku. Kulihat petir menyambar-nyambar di langit yang gelap dari jendela UKS. Kunyalakan lampu ruangan yang saklarnya hanya berada di sebelahku. Waduh, hujannya mengucur deras sekali.
“Ah, sial! Bagaimana aku bisa pulang kalau begini caranya?” omelku. Namun kemudian, aku baru menyadari ada masalah yang lebih besar daripada pulang kehujanan. Mataku terpaku pada jam dinding yang tergantung di seberang kursi yang kududuki. Jarum panjangnya menunjuk ke angka dua sementara jarum pendeknya berada di antara angka tujuh dan delapan. Jam tujuh malam! Mana mungkin?
Merasa tidak percaya dengan jam UKS, aku melirik jam tanganku. Hanya berbeda 2 menit. Wah, benar-benar gila! Aku pasti ketiduran tadi. Tapi tak mungkin tak ada yang membangunkanku. Kecuali…
Cepat-cepat aku berlari ke bagian depan UKS di mana dilokasikan bangsalnya yang kecil. Benar dugaanku! Andri Lukito masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur. Berarti dari tadi tak ada yang menjemputnya. Bu Prita pasti sudah menghubungi keluarganya, aku yakin, tapi kenapa dia masih di sini? Mungkin lebih baik aku menghubungi rumahnya sekali lagi.
Dengan perlahan dan hati-hati, aku merogoh sakunya dan menarik dompetnya keluar. Kuambil kartu pelajarnya dan menemukan telepon rumahnya di sana. Aku pun bergegas untuk berjalan ke telepon umum yang berada di lantai tiga. Betapa terkejutnya diriku menemukan pintu UKS terkunci dari luar.
Wah, gila! Masa dikunci, sih? Apa tak ada yang tahu kalau di dalam sini masih ada orang? Kucoba membukanya sekali lagi dengan tenaga yang lebih besar tapi pintu itu tetap tidak bergeming. Rasanya hari ini begitu banyak kesialan menimpa diriku, mulai dari ulangan Sejarah yang gagal, bolos praktikum Biologi, sampai terkunci di UKS malam-malam begini.
“Pak! Pak Toha!” seruku dari balik pintu, berharap penjaga sekolahku itu belum pulang. “Pak Toha, Nana kekunci di UKS! Pak Toha!”
Ah, sia-sia saja. Gedung sekolah selalu dikunci setelah Maghrib dan mengunci gedung adalah tugas terakhir Pak Toha sebelum ia kembali ke rumahnya yang tak jauh dari lingkungan sekolah. Ia pasti sudah pulang.
Keluargaku di rumah pasti sudah mengkhawatirkan diriku dan keluarga si Andri itu juga harus dikabari tentang puteranya. Aku harus bisa keluar dan menelepon tapi bagaimana? Dalam keputusasaanku, aku berjalan kembali ke tempat Andri berbaring dan duduk di sana.
Yah, setidaknya aku tidak terkunci seorang diri meskipun ditemani orang tak sadar seperti Andri juga tak begitu terasa bedanya. Aku tak dapat mengingkari kalau aku mulai merasa takut. Walau setiap hari aku selalu ke gedung ini, tetapi di malam hari seperti sekarang gedung sekolahku itu terasa begitu asing. Belum lagi cerita-cerita seram yang sering digosipkan murid-murid saat pelajaran kosong. Aku tidak pernah takut mendengarnya dan mungkin juga tidak pernah percaya hingga hari ini…
Hari sudah malam begini dan aku masih terbungkus dalam seragam sekolah yang sama ketika aku meninggalkan rumah. Aku benar-benar merasa tidak betah dan ingin segera pulang. Aku juga yakin kalau si Andri sadar, ia pasti akan minta pulang. Memangnya siapa yang mau menginap di sekolah sendirian? Dibayar satu juta pun aku pasti akan tetap berpikir dua kali.
Di luar hujan masih deras sehingga aku merasa kurang yakin telah mendengar sesuatu. Samar-samar aku mendengar langkah-langkah ringan di dekat koridor yang menuju ke UKS. Suara langkahnya tidak asing di telingaku. Langkahnya sama seperti langkah yang sering kudengar kala jam istirahat di mana begitu banyak murid yang mondar-mandir di koridor. Siapa pun orang itu, ia pasti mengenakan sepatu seragam sekolahku yang meski ringan tapi cukup menyakitkan kaki.
Didorong rasa ingin tahu dan naluri minta diselamatkan, aku berlari ke pintu UKS. Kugeser meja yang penuh majalah di dekat situ ke belakang daun pintu lalu naik ke atasnya supaya aku dapat mengintip melalui celah sempit di bagian atas pintu. Dapat kulihat sesosok siswi berambut sebahu sedang berjalan pelan-pelan menyusuri koridor.
“Hei! Heeei!” panggilku. Aku tak tahu harus memanggilnya dengan apa sebab aku tak tahu siapa dia. “Bisa tolong ke sini sebentar tidak? Aku kekunci di UKS.”
Gadis itu tetap berjalan. Perkataanku bagai angin lalu di telinganya.
Berulang kali aku memanggilnya dengan suara yang lebih keras dan lebih keras lagi tetapi percuma, siswi itu sepertinya tidak peduli akan apa pun kecuali dirinya dan langkahnya yang perlahan itu.
Diriku mulai terbakar emosi. “Hei, Putri!” seruku seperti ketika aku dengan galaknya memanggil salah satu juniorku.
Kakinya berhenti melangkah.
“Ke sini kamu!” lanjutku masih dengan nada yang keras.
Gadis itu menoleh. Aku tak dapat melihat wajahnya karena koridor sangat gelap. Ia memutar tubuhnya dan melangkahkan kakinya sekali ke arahku lalu terdiam sebentar sebelum akhirnya ia mendongakkan kepalanya. Dalam kegelapan malam yang dibayang-bayangi aliran air hujan yang menghujam ke tanah dan petir yang menyambar sesekali, aku dapat melihat matanya yang tertuju ke arahku. Kesedihan dan kebencian terpancar dari kedua bola matanya yang kini dapat kulihat menyala-nyala bagaikan api.
Kontan saja aku berteriak dan melompat mundur dari pintu yang menyebabkan diriku jatuh berdebum ke atas lantai UKS yang dingin. Cepat-cepat aku merangkak mendekati Andri, satu-satunya ‘teman’-ku yang ada saat itu.
Tubuhku gemetar ketakutan sementara keringat dingin mengucur dari dahiku. Aku tak tahu siapa atau apa yang kulihat barusan. Memanggilnya ternyata merupakan kesalahan besar yang kuharap tak pernah kulakukan. Kini aku hanya bisa berdoa dan berharap dalam hati kalau sosok mengerikan itu tidak akan datang ke UKS. Seumur hidup belum pernah aku merasa setakut ini. “Kumohon pergilah… Jangan dekati aku…” gumamku sambil memeluk diriku sendiri erat-erat.
Cukup lama aku menunggu langkahnya menjauh tapi sedikit pun aku tak mendengar sol sepatunya bergesekan dengan lantai. Mati aku kalau ia masih menunggu di koridor, pikirku. Saat itu, aku baru dapat melihat keuntungan dari terkunci di dalam UKS. Dengan demikian ‘dia’ takkan bisa masuk. Tapi ke mana sih orang itu? Koridor begitu sepi.
Masih dalam usaha menenangkan diri, aku mulai berjalan tanpa suara ke arah pintu. Setelah membulatkan tekadku, aku pun kembali naik ke atas meja dan mengintip ke arah koridor.
“Syukurlah…” bisikku lalu menghembuskan napas lega. Tak ada yang tahu betapa senangnya hatiku menemukan koriodor dalam keadaan kosong. Tak ada siapa-siapa di sana. Walaupun aku jadi menyangsikan penglihatanku beberapa waktu yang lalu, aku tidak peduli. Yang penting, aku baik-baik saja dan tak ada pemandangan mengerikan lagi.
Tapi benarkah begitu?
“Aaaaaa!!!” jeritku tak sampai sedetik kemudian.
“Ma… Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu,” kata sosok yang tiba-tiba berada di belakangku ketika aku turun dari meja. Ya, orang itu tak lain adalah Andri.
Dapat kurasakan urat-urat sarafku mengendur dan aliran darahku kembali mengalir. “Aduh… bikin kaget orang saja.” Walau berlagak agak kesal, sebetulnya dalam hati aku lega sekali.
“Iya, maaf.”
“Eh, kok kamu bangun dari tempat tidur? Ayo duduk, nanti kamu pusing,” kataku sambil menarik lengannya dan dengan hati-hati membimbingnya ke kursi terdekat.
“Aku tidak apa-apa. Terima kasih.”
Aku tersenyum. “Ehm… Begini, Andri… Nama kamu Andri ‘kan?”
Siswa yang diperban dahinya itu pun mengangguk.
“Orang tuamu belum jemput. Terus, aku tadi sempat ketiduran, jadi… kita kekunci di sini. Pak Toha kayaknya nggak tau, deh kalau ada orang di UKS. Maaf ya? Aku ‘nggak sengaja.”
“Jadi sekarang gimana?” tanyanya.
“Nggak tau…” jawabku sambil mengernyitkan dahi, menyadari bahwa jawaban itu hanya akan menambah kerisauan saja.
Andri menunduk setelah mendengar perkataanku. Sepertinya ia kecewa. “Ya sudah. Paling tunggu sampai besok.”
Aku kembali merasa lega karena Andri tidak menyalahkanku atas kesulitan yang menimpanya.
Kami mulai mengobrol. Mulai dari kenapa aku tak pernah melihatnya sampai kejadian mengerikan yang tadi aku alami sebelum ia sadar.
“Orangnya seperti apa?” tanyanya ringan.
“Hmm… yang jelas sih cewek. Rambutnya sebahu. Tingginya kayaknya standar tuh. Aku ‘nggak gitu jelas lihat wajahnya, sih,” jawabku. “Ya, mungkin salah lihat kali.”
“Salah lihat? Enggak lagi.”
Aku mengerutkan kening tanda tak mengerti.
“Yang kamu lihat itu sungguhan. Masa kamu belum pernah dengar ceritanya?”
“Cerita apa? Aku malas dengar gosip horor di kelas waktu jam kosong jadinya aku tidak begitu ingat cerita-ceritanya. Paling aku cuma dengar sambil lalu saja.”
“’Kan ada siswi yang meninggal waktu masa orientasi di sini.”
“Hah? Masa sih? Mana mungkin? Orientasi di sini kan tidak berat.”
“Dulu berat sekali. Sekarang saja jadi ringan.”
“Oh ya? Apa yang terjadi padanya?”
“Katanya dia dihukum terlalu berat oleh seniornya. Pokoknya hukumannya itu benar-benar kelewat batas. Pada dasarnya mental dan fisik anak itu memang lemah, jadinya ya begitu deh.”
“Ooo…” Mengerikan sekali, pikirku. Pantas saja dia menoleh ketika aku memanggilnya dengan sebutan ‘Putri,’ sebutan untuk siswi yang paling umum digunakan para senior saat masa orientasi. Dapat kubayangkan betapa dendamnya ia pada senior-senior yang dulu menghukumnya. Hiiiyyy… aku sampai bergidik sendiri.
Malam semakin larut namun perbincangan kami malah semakin seru.
“Kamu cocok ya jadi anak PMR? Biar rasanya males tapi kamu masih tetap mau bantu. Cepat lagi,” pujian itu terasa aneh di telingaku, mungkin karena kadar ketulusannya yang begitu tinggi.
Aku tersenyum kecut. “Yah… gitu, deh. Kewajiban, sih.”
“Kewajiban? Yakin? Masa iya kalau kewajiban doang kamu semangat banget?”
Kata-kata itu memaksaku terdiam dan berpikir. Tapi, karena aku sedang tidak mau dipusingkan oleh apa pun, aku kembali berbicara. “Ah, sudahlah. Aku udah mau berhenti, kok. Bosan ‘ngurusin orang melulu.”
“Jangan!”
Larangannya itu benar-benar mengejutkanku. Kelihatannya ia begitu tidak ingin aku keluar dari PMR seakan-akan bila aku bukan anggota lagi, ia akan mati. Namun aku tertawa saja, menutupi perasaan bingung yang meliputiku sambil berharap topik PMR itu akan segera berlalu.
“Na!… Na!”
Kubuka mataku sedikit demi sedikit. Bayangan buram yang ada di hadapanku pun berangsur-angsur jelas. “Bu Prita?”
“Ampun deh anak ini. Kamu ketiduran ya, Na?” kata Bu Prita yang kini sedang berdiri di sampingku.
Aku yang masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi hanya bisa diam saja. Kucoba mengingat-ingat apa saja yang telah terjadi padaku kemarin.
“Eh, iya!” seruku sambil berdiri. “Si itu mana?”
“Si itu siapa?”
“Itu, Bu, yang kemarin kepalanya kena kaca di depan kelas 2-2.”
“Kena kaca? Ada juga yang ketabrak pintu. Ya sudah dijemput orang tuanya lah, Na. Kamu tidur terus, sih,” ucap Bu Prita sambil tertawa.
“Ketabrak pintu?… Ah, pokoknya yang kepalanya luka itu loh.”
“Iya, sudah pulang. Dia sudah dijemput. Kamu saja yang kekunci di UKS. Na, Na… kamu itu aneh-aneh aja. Gimana rasanya ‘nginep di sekolahan?”
“Hehehe… lumayan deh, Bu. Untung si Andri belum dijemput kemarin, jadinya kagak sendirian.”
“Andri? Andri sopo?”
“Ya anak yang kemaren kepalanya bocor itu. Andri, Andri Lukito. Ibu gimana, sih?”
Bu Prita terdiam sambil memandangku dengan heran. “Kok Andri, sih? Lha wong namanya Budi.”
“Budi? Ah, Andri, kok.”
Tepat saat itu seorang siswa bersama ibunya datang ke UKS.
“Nah, itu anaknya datang,” kata Bu Prita seraya menyambut kedua tamu itu.
Siswa itu berjalan mendekati diriku. Kulihat wajahnya. Sama sekali tidak mirip Andri, ‘pasien’ yang kurawat kemarin. Kulihat juga perban yang melintang di kepalanya. Luka Andri persis di dahinya tapi yang ini kenapa di atas telinganya?
“Terima kasih banyak, ya? Aku Budi. Kata Bu Prita nama kamu Nana, ya?”
Aku tak dapat mengatakan apa-apa. Lidahku terasa begitu kelu untuk berbicara. Aku tak mengerti. Yang kutolong kemarin itu Andri, bukan Budi. Tapi…
“Na?”
Aku tak bereaksi.
“Aduh, maaf ya, Bud, Bu… Nana kurang tidur dari kemarin. Mungkin masih cape,” kata Bu Prita, mengarangkan alasan atas ketidaksopananku.
Siswa yang mengaku bernama Budi itu pun meninggalkan UKS bersama ibunya.
“Kamu kenapa, Na?” tanya Bu Prita cemas.
Bukannya menjawab, aku malah langsung menyambar buku tahunan sekolahku yang kemarin kubuka. Kucari-cari halaman di mana ada terpampang foto Andri Lukito.
“Ini loh, Bu! Lihat deh! Ini Andri yang kemarin kepalanya bocor,” seruku sambil memperlihatkan foto Andri pada Bu Prita. “Iya, ‘kan? Andri Lukito.” Kutunjuk nama yang tercetak di bawah foto hitam-putih itu dengan jari telunjukku dan langsung merasa menang. Memang jelas-jelas namanya Andri Lukito, kok, pasti Bu Prita yang ngawur.
Bu Prita menggelengkan kepalanya. “Na…”
“Ibu lihat dulu!” potongku. Aku tak mau mendengar perkataannya sebelum ia percaya perkataanku.
“Na!” bentaknya.
Aku tetap tidak mau dengar sampai akhirnya Bu Prita menarik buku tahunan itu dariku dan membuka halaman pertamanya di depan mataku. “Baca, Na! Lihat!”
Angkatan XVI. Tahun 1987. “Tahun delapan tujuh?” Tubuhku langsung merosot ke lantai. Apa maksud semua ini? Apa aku sudah gila? Ya Tuhan, siapa yang kemarin mengobrol semalaman denganku? Kalau biasanya aku mengangkut orang pingsan, kali ini giliranku yang diangkut.
Beberapa hari kemudian, setelah merasa sanggup menerima kejadian aneh itu, aku baru mulai mencari tahu tentang siswa sekolahku yang bernama Andri Lukito dan juga kejadian yang ia ceritakan padaku tentang seorang siswi yang meninggal sewaktu masa orientasi. Aku benar-benar merasa memiliki dorongan tertentu untuk mengetahui kebenaran cerita yang semula kukira hanyalah bualan yang dibuat murid-murid untuk mengisi jam pelajaran kosong.
Ternyata sekolahku memiliki catatan sejarah yang cukup mengerikan. Siswi yang meninggal pada masa orientasi itu bukan gosip tapi kenyataan. Dan Andri Lukito… Dia juga sudah meninggal. Kepalanya tertancap pecahan kaca jendela kelas 2-2 yang dulu merupakan kelasnya. Pada waktu itu, jendela-jendela di sekolahku tidak semungil sekarang dan juga belum diperisai dengan terali besi. Insiden itu terjadi sewaktu kelas lain sedang pelajaran olah raga. Salah satu bola basket yang mereka mainkan secara tidak sengaja memecahkan kaca jendela kelas 2-2 dan mengenai kepala Andri. Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit karena pendarahan yang tidak bisa dihentikan, baik oleh para petugas UKS maupun anggota Palang Merah Remaja yang datang terlambat. Pihak keluarganya menyalahkan kelalaian sekolah, UKS, dan juga PMR. Aku tidak tahu lagi kelanjutan ceritanya tetapi aku sudah cukup mendapat gambaran akan apa yang terjadi pada tahun 1987 di sekolahku itu.
Beristirahatlah dengan tenang Andri… Aku sudah mengerti maksud penampakan dirimu padaku. Aku takkan berhenti dari PMR. Aku tak peduli kalau orang-orang menyamakan aku dengan ibuku, yang penting aku dapat berguna bagi orang lain. Setidaknya aku takkan membiarkan siapa pun mengalami pendarahan sampai meninggal, tidak bila aku masih sanggup menolongnya.
Kurasa ia benar… Bagiku semua itu bukanlah hanya sekadar kewajiban meski ribuan kali aku menyangkalnya. Sampai kapan pun aku takkan pernah pensiun karena aku sadar bahwa kepalangmerahan telah merasuk dalam jiwaku. Ya, untuk selamanya…