Category Archives: Shortiez

Si Cantik dan Si Buruk Rupa

Wanita seperti dirimu mana mungkin mengerti!

Apa maksudmu wanita seperti diriku?

Ya, wanita yang dilahirkan dengan wajah cantik, tubuh indah dan kulit tak bercacat.

Aku…

Jangan bilang kau tidak menikmati ketenaran yang kau dapat dengan kecantikanmu. Seringai.

Tapi aku tidak pernah berbuat jahat padamu! Pada siapa pun!

Seringai semakin lebar. Lirikan tajam yang mengolok-olok. Tapi kau menghakimiku.

Aku tidak…

Diam!

Kau tidak habis pikir bukan? Makhluk keji apa yang sanggup menghancurkan mimpi gadis-gadis muda itu? Kau kira kau sudah berusaha mengerti. Tapi bagaimana seekor burung yang mengudara mengerti penderitaan cacing tanah yang menggeliat menembus debu dan liat?

Jeda.

Bungkam mulutmu sekarang? Lihatlah diriku kini! Lihat apa yang setan-setan itu telah lakukan padaku! Tudung tersingkap tangan keriput penuh parut luka dan koreng yang tak kunjung mengering.

Jangan palingkan wajahmu! Kuku-kuku tajam mencakar kedua tangan, memaksa tubuh mendekat padanya. Kau ingin lihat setan macam apa yang selama ini menghantui hidup mereka? Lihatlah!

Aku tidak…

Tamparan keras. Nyeri berdenyut di pipi. Lihat aku, perempuan jahanam!

Apa yang harus kulihat? Bahkan setan pun masih berwajah!

Bertubi-tubi pisau berkarat kasar merobek kulit, mengoyak daging. Darah mengucur, bercampur karat. Nyeri menggerogot sampai tulang, terlalu sakit bahkan untuk jerit dan tangis.

Jangan kau kira kau bisa mati. Seringai terjahat. Inilah neraka dan akulah iblismu! Seonggok daging meluncur copot dari pipi kanan.

A-apa…

Sepecahan cermin diangkat ke depan wajah.

Tidaaak!

Lihatlah wujud barumu! Tawa yang begitu gembira. Ya, akulah iblis yang akan menciptakan setan-setan baru untuk mengacau dunia. Tawa jahat menggema.

Gelap! Tolonglah… Bukankah ini saatnya gelap menyergap dan membawaku pergi?

Bagaimana seekor burung dapat mengerti penderitaan cacing tanah? Potong kedua sayapnya, cabuti semua bulunya dan kubur dia hidup-hidup!

Jangan…

Kau ingin mengerti aku, bukan? Mengertilah penderitaanku dulu!

Tangis. Penyesalan. Sengsara tiada akhir dalam neraka tanpa pintu.

 

Jakarta, Agustus 2011

Romeo and Juliet – “An Un-True Love Story”

Romeo finally arrived at the church. Sweet-scented flowers decorated the whole room and white candles were burning along the aisle towards the opened casket on the altar. He paced slowly to his Juliet, lying lifelessly inside the wooden casket. Oh, his love had left him forever!

“What’s the use of my being here on earth now? I shall kill myself!” he said, very upset, and left the church in a haste.

An hour later, he was already in a tavern, drinking loads of pints. As the night grew darker, he grew drunker. A wench was observing the young man attentively. She decided to approach him and asked what his problem was.

“She’s dead…” he sobbed.

“So, what are you doing here?” she asked. “Shouldn’t you go to the funeral now?”

“No! I want to die as well!”

“You want to kill yourself?”

“Aye!” He then stood up from his stool. “I shall prove my everlasting love for her. I shall take my own life for she was the reason I live.”

“Then, what are you doing in a tavern? Don’t you have yourself to kill now?”

“Quiet, wench!” Romeo drew his sword from its sheath and swung it to the wench’s throat threateningly. “I shall die tonight! When I walk home from this stinky tavern, very drunk to see my way, a large royal carriage will run over my body, and I won’t feel any pain because I’ll be too drunk, but I shall be dead. And I shall be together again in death with my love.”

The wench rolled her eyes. “You can always stab your heart you know? It’s simpler. And what makes you think that you can be together with her in death? You’re dead.”

At the remark, Romeo started to think. He put his sword back into its sheath and exhaled. Refusing to show his absent-mindedness he arrogantly said, “It’s a nobility’s privilege to know such things. Definitely beyond the knowledge of a wench.”

“Aye, but this wench is pretty, sexy and alive. Are you sure you want to waste your life on your gorgeous but dead girlfriend?” She moved closer to him, lowering down one side of her collar, exposing her creamy shoulder.

Romeo’s drunken eyes stared at the wench. She was, in fact, a pretty and sexy woman. Sexier that Juliet if he could be honest. Then, he started to think again. “Uh… maybe I can spend my last night with a living woman…”

The wench laughed in victory. “If you can pay well, rich boy, I can be as alive as I can be,” she boasted as she winked at him.

Meanwhile at the church, Juliet suddenly gasped for air. She opened her eyes and brought herself to sit. “Romeo!” she yelled.

It took her a few seconds to realize that the church was empty. No Romeo, no nurse, no apothecary. “Hello?” she called out. No answer.

She climbed out of her casket and decided to write her family a note. She took a piece of paper, a bottle of ink and a quill. She then started to write with excitement.

“Dear Mom and Dad,

I was dead, the apothecary helped me (but please don’t kill him). It means my marriage with Romeo is off because I only promise God until death do us part. Death did take me, but thanks to the apothecary, I’m now alive (now you know why you shouldn’t kill him). Anyway, I’m writing to you to say that I’m leaving for my trip far far away to some tropical lands. I may not come back, but I think you will be happy to know that my insurance will pay you both handsomely now that I’m dead. Well, I’m not exactly dead, but they think so, and so you must keep your mouths shut about my trip. Give Nurse my hug and I hope she can get the man of her dreams (the Duke! But don’t tell her I tell you this or she’ll kill me! Well, I’m dead anyway. Uhm, not exactly dead, but you know what I mean…) Hope all will be well with you two! (Don’t let them arrest you because of the insurance scam, I really hope you both will be smarter.)

PS: Tell Daddy’s favorite knight that he’s a cutie. Never had the chance to say it to him personally 😛

Love,

Juliet XOXO”

Kakakku Tersayang

Perawat itu sedang membungkuk mengambil mangkuk rumah sakit yang jatuh sekaligus membersihkan bubur encer yang tercecer di lantai dengan agak kesal ketika seorang wanita muda berpenampilan menarik datang. Si perawat yang mengoceh sendiri langsung terdiam begitu ia menyadari kehadiran tamu pasien ‘nakal’-nya yang menolak untuk makan bubur sesendok pun. Dia lagi… pikirnya. Namun bertentangan dengan suasana hatinya yang buruk, ia melempar senyum yang kelihatannya cukup tulus. “Sore, Nyonya.”

“Sore,” balas wanita itu dengan tata bicara yang halus dan sopan. “Dia tidak mau makan apa-apa lagi ya, Suster?” Ia mengernyit penuh rasa bersalah seakan merasa telah merepotkan si perawat.

Perawat bertubuh gempal itu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, “Dia memang selalu begitu setiap hari. Padahal kukira setelah seminggu di sini, kami bisa melepas infusnya dan membiarkan dia makan dengan normal. Ternyata…”

“Ya… aku tahu. Terima kasih. Bisa tolong ambilkan bubur lagi? Saya akan mencoba membujuknya makan,” kata wanita muda itu sambil melepas kacamatanya dan memijat dahinya. Matanya terlihat begitu letih dan kerutan di bawah lekukan matanya menunjukkan bahwa ia sudah tidak muda lagi. Meskipun kedua bola matanya amat indah namun cahayanya begitu redup, tertutup selaput-selaput duka dan sisa air mata.

“Tentu.” Perawat itu pun bergegas pergi meninggalkan kamar. Sebetulnya ia tidak terlalu peduli dengan pasien yang dirawat inap di kamar itu sebab perilakunya benar-benar menyebalkan. Tak pernah merespon walau sekeras apa pun orang lain berusaha menarik secuil perhatiannya. Akan tetapi ia merasa iba pada sang tamu yang terus-menerus datang dan tak pernah putus asa mencoba menyadarkan sang kerabat yang terganggu mentalnya.

Wanita muda yang hanya dikenal lewat penampilan berkelas dan harum bau parfumnya yang lembut oleh para personel rumah sakit jiwa yang terpencil di pinggiran kota itu selalu datang mengunjungi kamar 18A di jam yang sama setiap harinya. Sejak hari pasien nomor 18A dirawat di sana, satu-satunya tamu yang datang hanyalah wanita itu, tak ada yang lain. Semua sudah hafal dengan kebiasaan si tamu setia. Selalu datang masih dalam setelan kerja dan sepatu berhak 7 senti dengan model sederhana meski warnanya disesuaikan. Dan ia selalu minta ditinggal berdua saja dengan sang pasien. Ia bisa tinggal di kamar itu lama sekali, kadang sepanjang malam, kadang sampai fajar menyingsing. Tak ada yang tahu apa yang ia lakukan di sana. Para perawat yang kebetulan lewat hanya dapat mendengarnya bercerita dan berbicara namun tak pernah sekali pun mendengar suara si pasien menanggapi kata-katanya.

“Rena, ini aku, Mia. Gimana kabarmu hari ini?” tanya wanita itu seraya berlutut di kaki si pasien, seorang wanita berambut panjang yang sedang menunduk di kursi rotan yang menghadap ke jendela kamar. Sinar kemerahan sang mentari yang hampir tenggelam menyinari sosok yang terbalut dalam seragam putih rumah sakit itu. Seperti biasa memang tidak ada tanggapan apa-apa. Mia pun tidak berharap banyak. “Aku buka jendelanya, ya? Anginnya segar, kok, kamu pasti suka.”

Bahkan ketika semilir angin senja yang membawa aroma bunga-bunga padang masuk menerobos di antara tirai yang terbuka lebar dan menebak rambutnya yang kusut, Rena tidak bergerak.

Mia duduk di kusen jendela, menikmati hembusan angin di punggungnya, melemaskan otot-ototnya yang kaku karena perjalanan 2 jam yang telah ditempuhnya untuk dapat tiba di situ. Namun perhatiannya tidak terarah pada keindahan langit yang berangsur gelap. Dengan tatapannya yang prihatin diperhatikannya Rena, sang kakak yang dulu pernah hidup normal bersamanya.

Ya, Tuhan… Apa yang telah kulakukan? ratapnya dalam hati. Melihat keadaan Rena sekarang membuat hatinya seakan teriris-iris. Inikah Rena Wijaya yang selalu berbagi suka-duka dengannya? Rena yang “hidup” bukan yang hanya duduk diam dengan kepala tertunduk, yang bahkan tidak menyahut bila diajak berbicara. Wanita yang dapat dilihat Mia sekarang hanyalah Rena tanpa jiwa.

Mia beranjak dari jendela dan kembali berlutut di depan Rena. Perlahan disibaknya rambut Rena yang terjuntai tak beraturan menutupi wajahnya. Masih segar dalam ingatan Mia betapa halus dan indahnya rambut Rena dulu. Ia meraih sebuah sisir dari dalam tas tangannya kemudian mulai menyisir rambut kakaknya yang kini sudah kusam dan kusut. “Dari dulu aku selalu mengagumi rambutmu, kau ingat? Papa-Mama juga bilang kalau rambutmu adalah yang paling bagus di seluruh keluarga. Aku selalu berharap memiliki rambut sepertimu dan kau akan selalu mengejekku dengan sebutan ‘si sirik’ bila aku mengatakannya.” Mia pun tertawa mengenang masa-masa bahagia yang telah ia lalui bersama Rena.

Ketika kedua orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan mobil belasan tahun silam, Mia hanya punya Rena. Dan Rena sebagai anak sulung tidak pernah sekali pun melalaikan tugasnya menjaga sang adik. Rena selalu bersikap protektif dan Mia juga selalu menurut sampai seorang pria bernama Yos masuk ke kehidupan mereka…

Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Mia. Bubur baru sudah datang. Perawat yang tadi masuk lalu menaruh nampan berisi semangkuk bubur hangat dan sepoci teh manis di atas meja tempat obat yang terletak di sisi ranjang. “Saya tinggal di sini, ya?” ucapnya.

“Oh iya, terima kasih banyak lho, Suster,” balas Mia sambil tersenyum.

Perawat itu membalas senyumnya sesaat sebelum ia keluar.

Mia mengambil bubur dari atas nampan, menggeser sebuah kursi lipat ke sebelah Rena dan duduk di sana. “Nah, ayo kita makan. Aku sambil cerita, deh.” Diambilnya sesendok bubur dan ditiupnya agar sedikit mendingin lalu disodorkannya ke mulut Rena, berharap kakaknya itu mau membuka mulut dan makan walau hanya sedikit.

“Ayo dong, Ren, makan,” bujuk Mia. “Kamu ingat si Anggi nggak? Kamu yang bilang lho kalau malas makan jadinya bisa ceking kayak dia. Hayo… masa kamu mau jadi ceking begitu? Ayo dong, makan.”

Mulut Rena tak kunjung terbuka. Pandangan matanya pun tetap kosong.

“Ren…” panggil Mia dengan suara yang mulai serak. Tangannya yang memegang sendok bergetar namun ia tetap mempertahankan posisinya di depan mulut Rena yang terkatup rapat. “Ren, tolonglah… kau harus makan. Sedikiiit saja, ya?”

Setelah menunggu selama lebih kurang lima menit, Mia tahu respon yang diharapkannya tak akan muncul. Matanya berkaca-kaca dan walaupun ia bergerak cepat, menaruh sendok kembali ke mangkuk bubur lalu menyeka matanya dengan punggung tangannya, setetes air matanya masih sempat terjatuh.

“Bagaimana aku bisa mengembalikanmu seperti sedia kala, Ren? Tolong bantu aku. Aku tidak bisa melakukannya sendirian.” Napas Mia semakin sesak begitu teringat bahwa ia-lah yang menyebabkan Rena menjadi seperti sekarang. Ya, ia dan Yos yang membuat kakaknya menderita seperti sekarang.

Tadinya semua baik-baik saja. Kakak-adik yang saling menyayangi. Siapa yang menduga kalau seorang bajingan macam Yos dapat merusak hubungan yang mereka miliki? Tapi itu terjadi dan kini Mia hanya dapat menyesal.

Mia masih ingat saat pertama kali Rena pulang dan mengenalkan teman kantornya yang baru, seorang pria tampan dengan senyum yang menawan. Namanya Yos. Hanya tiga huruf, begitu singkat namun tidaklah singkat kesan yang ditinggalkannya pada Mia. Rena sudah lama menyukai Yos, Mia juga tahu, siapa yang tidak? Rena selalu membicarakannya setiap waktu. Tapi Mia sama sekali tidak dapat membendung perasaannya apalagi begitu mengetahui Yos menanggapinya.

“Aku memang bukan adik yang baik. Maafkan aku,” bisik Mia.

Seharusnya Mia mundur. Toh, tidak salah mengalah sekali ini saja pada kakaknya. Rena sudah sering mengalah dalam banyak hal: sekolah, pekerjaan… Tapi Mia memang anak egois, manja dan terbiasa hidup enak. Beberapa bulan kemudian, Yos mengaku kalau ia lebih memilih Mia daripada Rena. Walau pada awalnya ia tertarik pada Rena yang cantik, ia mengaku pada Mia kalau setelah dikenalkan dengan sang adik, ia langsung jatuh cinta.

Rena amat berang sewaktu mengetahui adiknya telah menikamnya dari belakang. Ia marah, ia sakit hati dan ia sangat sedih. Tapi tak sedikit pun rasa dendam membekas di hatinya. Ia terlalu menyayangi Mia untuk bisa membencinya meski gadis itu sangat pantas untuk dibenci. Luka mana pun membutuhkan waktu agar bisa sembuh dan Rena membutuhkan beberapa minggu sebelum ia bisa berbicara kembali dengan Mia tanpa perasaan marah yang meluap-luap. Rena merelakan pria itu pergi kepada Mia sebab ia menganggap Yos tidak seberharga itu untuk dibayar oleh hubungan erat kakak-adik yang selama ini telah terbina dengan baik. Sayang sekali dulu Mia tidak berpikir begitu…

“Seharusnya aku menurutimu, Ren. Bisa-bisanya aku tidak percaya padamu… Tidak semestinya aku menikahi bajingan itu!” bisik Mia ringan namun penuh dengan emosi.

Betapa cinta itu buta. Ia ingat kata-kata kejam yang ia lontarkan saat Rena yang tadinya sudah memberikan restu tiba-tiba melarang pernikahannya dengan Yos yang sudah di ambang pintu.

“Kau cuma cemburu, ‘kan? ‘Ngaku saja! Kamu tidak bisa terima kalau Yos lebih memilih aku daripada kamu! Iya, ‘kan? Kenapa sih kamu tidak suka melihat adikmu sendiri senang?”

“Mia, bukan begitu! Aku mau kamu senang! Itu sebabnya aku takkan mengijinkanmu menikah dengan pria macam Yos!” bantah Rena keras.

“Kamu jahat! Dasar egois! Aku benci kamu!!!” jerit Mia yang sudah tidak dapat menahan emosinya saat itu.

Dan beberapa menit kemudian perdebatan itu dipenuhi dengan air mata, air mata Rena. “Kau harus percaya padaku, Mi…” pintanya dengan memelas.

“Aku selalu percaya padamu, Ren! Tapi tidak kali ini!”

“Ia bukan pria baik-baik. Ia hanya ingin memanfaatkanmu, ia hanya ingin merebut warisan Papa, Mi. Aku takkan melakukan apa pun untuk menyakitimu, kau adikku satu-satunya. Mana mungkin aku berbuat begitu?” sambung Rena cepat.

“Sudah, aku tak mau dengar lagi!” seru Mia sambil menutup kedua daun telinganya kuat-kuat. “Aku akan tetap menikah dengan Yos! Kau kira kau siapa? Aku tidak butuh persetujuanmu! Bahkan kalau besok kiamat pun, aku akan tetap menikah dengan Yos, kau dengar?”

Rena sudah memperingatkannya tapi Mia tidak mau dengar. Di mata Mia, Yos adalah sosok lelaki yang sempurna, tiada bandingannya sebab ia begitu tergila-gila pada makhluk jantan yang satu itu. Kata-kata Rena tak lebih dari gonggongan anjing liar di telinga Mia, hingga suatu hari…

Akhir pekan itu Mia dan Yos akan merayakan ulang tahun perkawinan mereka yang kedua. Mia sengaja pulang lebih awal dari kantor untuk mengejutkan suami tercintanya. Akan tetapi kejutan yang ia persiapkan tidak semencengangkan kejutan yang menunggunya di rumah.

Rumah begitu sepi, entah ke mana para pembantu dan tukang kebun. Yang lebih mengherankan lagi, ruang keluarga betul-betul kacau balau. Perabotan berserakan. Permadani begitu kusut. Vas-vas porselen antik yang menghiasi ruang bercat merah muda pastel dan berlampu kuning lembut itu hancur berantakan. Sudah seperti kemasukan maling saja. Mia sudah hendak marah besar pada para pembantunya ketika sudut matanya menangkap sesuatu di balik sofa.

Dengan tidak sabar Mia melangkah ke arah sofa yang membelakanginya. Matanya membelalak seketika dan mulutnya membuka tanpa suara. Lututnya langsung lemas, memaksa tubuhnya ambruk bersama dengan tetesan pertama air matanya. Meski dadanya terasa amat sesak, ia terus berjuang untuk bernapas. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa membatu di sana, meratapi apa yang dilihatnya, berharap itu hanya sekadar imajinasi yang dihasilkan oleh pikirannya yang sudah mulai menggila.

“Siapa yang melakukan ini padamu?” ucap Mia parau. Diulurkannya tangannya yang gemetar ke arah saudarinya yang terkulai lemah tak berdaya di atas lantai. Wajah Rena terlihat kosong namun matanya terus-menerus mengalirkan air mata. Pakaiannya koyak di sana-sini, membuatnya nyaris tidak tertutupi. Tubuhnya penuh bekas-bekas penganiayaan, memar-memar yang masih baru. Darah menodai salah satu sudut bibirnya yang pecah sementara sebelah lubang hidungnya mengalirkan darah segar. Membayangkan apa yang telah terjadi pada Rena membuat Mia mual.

Sebelum Mia sempat berbuat lebih lanjut, pembantu keluarga mereka yang paling tua, Bibi Mirah, datang menarik Mia – yang sepertinya belum kembali ke realita – pergi ke luar rumah cepat-cepat. “Kok Non sudah pulang jam segini? Bahaya, Non, bahaya. Kalau Tuan balik lagi, bahaya. Non Mia pergi saja, ya? Tuan gila, Non,” kata Bibi Mirah sambil membimbing Mia setengah berlari melintasi halaman depan.

Tepat setelah Bibi Mirah selesai berkata, Mia menghentikan langkahnya. Kedua matanya yang masih digenangi air mata segera berkilat penuh murka dan benci. “Tuan? Jadi Non Rena…” Mia tidak perlu melanjutkan perkataannya, Bibi Mirah sudah mengangguk-angguk sedih. Ia baru saja akan menyalahkan Bibi Mirah dan para pembantu lainnya ketika ia sadar bahwa kesalahan sebenarnya terletak di tangannya. Bibi Mirah sudah uzur dan pembantu lainnya pasti takut pada sang majikan. Siapa yang dapat menyalahkan mereka? Kenyataan ini semakin membakar hati Mia.

Mia langsung memutar tubuhnya kembali ke arah rumah dan bergegas ke ruang keluarga dengan gusar. Napasnya memburu. Dadanya bergemuruh, penuh sesak dengan kemarahan yang tidak terkira. “Kubunuh kau, Yos!” hanya kata-kata itu yang ada di kepalanya, menuntunnya ke dapur dan membuatnya tiba di ruang keluarga dengan sebilah pisau tajam tergenggam di tangannya.

Pria itu sedang berdiri di dekat Rena, tersenyum licik dan meledek sambil mengisap rokoknya yang sudah tinggal separuh. “Rena, Rena, coba kamu jangan sok pintar…” ucapnya lalu terkekeh seakan-akan apa yang barusan dikatakannya itu lucu.

Mia betul-betul muak. Cukup sudah penipuanmu, lelaki sampah! pikirnya. Ia baru sadar bahwa Yos lebih memilihnya bukan karena ia lebih cantik atau lebih menarik tetapi karena ia lebih bodoh, jauh lebih bodoh. Mia sudah mata gelap, otaknya sudah tidak berpikir. Kaki Mia terasa ringan sekali, melaju secepat angin menuju Yos. “Bajingan kau!” Ia tak ingat apa-apa lagi kecuali darah yang menyembur ke wajahnya dan tubuh Yos yang roboh dengan pisau dapur tertancap di jantungnya.

Mia mengambil kembali bubur yang tadi ditaruhnya, mencoba menyuapi Rena untuk kesekian kalinya. Ia memang telah membunuh Yos di rumahnya sendiri tapi berkat uangnya yang banyak, Mia dapat luput dari mata hukum. Seorang kambing hitam mengakui tindak pidana itu dan sebagai gantinya Mia cukup menyantuni keluarga pria tak dikenal itu dengan uang yang cukup untuk hidup mewah. Yah, begitulah hidup di zaman edan ini… Mia mengaduk mangkuk putih itu lalu mengangkat sesendok bubur untuk Rena.

“Tidak apa-apa, aku tidak menyesal, kok. Yos pantas mati, apalagi setelah ia menyentuhmu, Ren. Tapi yang paling kusesali adalah kebodohanku. Jika aku bisa mengulang semuanya, aku akan mendengarkanmu, supaya kau tak mengalami hal seburuk ini. Sambil makan ya, Ren? Ayolah, hanya sedikit…” Mia terus membujuk Rena agar mau makan.

Perlahan mulut Rena membuka. Sesendok bubur pun masuk ke rongga mulutnya lalu sendok kedua menyusul kemudian sendok ketiga. Namun setelah sendok ketiga Rena memuntahkan semuanya.

Dengan sabar Mia hanya dapat membersihkan muntahan kakaknya dan mencoba lagi. “Jangan khawatir, Ren. Mulai sekarang aku yang akan menjagamu.”

Setelah itu, Mia mengangkat sesendok bubur yang lain lagi. “Nah, ayo! Makan lagi ya?”

Mulut Rena kembali terkatup rapat.

Mia menarik napas pendek sebelum menggunakan bujukannya yang ampuh. “Kamu makan, Ren, nanti aku ‘kan sambil cerita. Kamu suka ‘kan dengar cerita? Apalagi tentang kebodohan adikmu ini, kau pasti suka sekali. Aku masih punya banyak cerita. Masih ingat waktu kita memanjat pohon mangga tetangga…”

Mulut Rena pun membuka dan Mia dapat memasukkan sesendok bubur, berharap kali ini takkan dimuntahkan kembali. Tapi walau dimuntahkan seribu kali pun, ia akan tetap di sana, mencoba menyuapi sang kakak sambil bercerita, bernostalgia indah bersama kenangan-kenangan manis yang telah berlalu.

Satu Malam di Sekolah

“Nana! Ada yang pingsan!” seru seorang siswi berseragam putih-abu-abu sambil berlari mengejarku dari belakang.

Kuhentikan langkahku lalu menoleh ke arahnya. “Hah? Di mana?” tanyaku cepat.

Ia membutuhkan beberapa menit untuk dapat menjawab pertanyaanku karena ia agak kesulitan mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Di… di… aduuuh, itu loh, di depan kelas 2-2.”

Meskipun agak enggan, aku tetap melesat pergi ke lantai dua di mana kelas 2-2 berada dengan berlari. Sebagai seorang anggota Palang Merah Remaja yang masih aktif, aku sering membantu para petugas UKS menangani kecelakaan-kecelakaan kecil di sekitar sekolah. Sebenarnya aku agak malas mengurusi hal-hal semacam itu lagi. Aku berniat keluar dari PMR sejak tahun lalu tapi hingga kini niatku itu belum sempat terlaksana. Pada dasarnya aku menyukai segala sesuatu yang berbau kesehatan. Aku selalu mengagumi organisasi netral yang didirikan oleh Henry Dunant itu. Tetapi, aku tidak ingin disamakan dengan ibuku si perawat yang andal. Semua orang menuntutku untuk mengikuti jejaknya. Mereka ingin agar aku menjadi seperti beliau. Aku tidak mau. Aku adalah aku, dan aku berbeda dengan ibuku. Kurasa itulah alasan utama mengapa aku ingin berhenti saja menjadi anggota PMR. Ya, supaya aku terlihat berbeda dengan ibuku.

Ketika aku tiba di depan kelas 2-2, kerumunan murid-murid nyaris tak terbendung. Aku sulit sekali menembus mereka untuk menjemput ‘pasien’-ku yang pasti berada di tengah. Sambil terus mengucapkan kata permisi dan maaf, aku menyelip melalui celah mana pun yang dapat kutemukan yang bisa membuka jalanku ke tengah kerumunan.

Setelah usaha keras yang akhirnya membuahkan hasil, aku mendapatkan petugas UKS-ku yang telah menunggu kedatanganku. Di pahanya yang sejajar dengan lantai, kepala si siswa yang terluka terkulai dengan lemasnya.

“Ayo, Na! Bawa ke UKS,” kata Bu Prita, penanggung jawab kesehatan di sekolahku yang merupakan satu-satunya petugas UKS yang masih belum pulang sore itu.

Tak lama kemudian, berkat kerja sama yang baik antara aku dan Bu Prita, siswa itu berhasil dibaringkan di ranjang UKS yang sudah agak keras. Kuperhatikan dengan seksama kepala siswa yang bocor itu. Kelihatannya sih terkena kaca jendela yang pecah tapi aku menganggapnya agak tidak masuk akal mengingat setiap jendela kelas di gedung sekolahku berada cukup tinggi, persis di bawah langit-langit, lagipula ‘kan ada jeruji besi yang dipasang sebagai lapisan penangkal bola-bola yang nyasar dari lapangan. Jadi, satu-satunya kemungkinan kalau memang benar ia terkena kaca jendela kelasnya, ia pasti sedang memanjat dinding kelasnya sendiri dari dalam. Tapi… untuk apa ia berbuat demikian?

Lamunanku buyar saat Bu Prita memanggilku. “Na, aku sudah harus pulang sekarang, lho. Aku sudah janji sama anakku buat ‘nganter dia ke les,” katanya dengan logat Jawa yang masih sangat kental.

“Oh…” ucapku sambil mengangguk-angguk. Waduh, gimana ini? Seharusnya aku sudah berada di laboratorium Biologi dua puluh menit yang lalu untuk praktikum tapi kalau begini… Siswa itu tak mungkin ditinggal sendiri dan kalau Bu Prita harus pergi berarti aku yang harus menungguinya sampai orang tuanya datang menjemput.

“Kenapa, Na?” tanya Bu Prita. “Kamu ada praktikum?”

Aku berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaan itu dengan tidak jujur. “Ah, enggak, kok. Aku cuma ada rencana pulang lebih cepat hari ini. Nggak ada acara apa-apa, kok. Ibu pulang aja deh.”

“Ya sudah, aku pulang ya? Makasih loh, Na.”

Bu Prita pun pergi.

Yah, inilah aku. Kenapa selalu sulit rasanya bagiku untuk menolak permintaan orang lain? Selalu merasa tidak enak jika tidak membantu. Kalau dipikir-pikir, aku nekat juga. Ini sudah yang kedua kalinya aku membolos praktikum Biologi demi urusan UKS yang sudah kuanggap seperti kewajiban itu. Tapi bagaimana yah? Sesuatu dalam hatiku memaksaku untuk tidak membiarkan siswa itu sendirian atau membiarkan Bu Prita membatalkan janjinya.

Sudah pukul 17.15. Sekolah sudah sepi. Semua kegiatan ekstrakurikuler berakhir pada pukul lima sore dan lima belas menit lagi, kelasku akan selesai praktikum. Semoga saja aku diperbolehkan ikut praktikum susulan dengan kelas lain, kalau tidak aku tidak tahu bagaimana nasibnya nilai pelajaran favoritku itu.

Sambil menunggu orang tua siswa itu datang, aku membolak-balik majalah yang ada di UKS. Mataku terasa semakin berat. Sebenarnya aku memang kurang tidur dari kemarin. Tadi pagi ada ulangan Sejarah dan bahannya banyak sekali. Dipelajari sampai jam tiga pagi pun bahannya belum habis. Mengerikan sekali, bukan? Aku terus melihat halaman-halaman majalah yang mungkin terbitnya sudah lima tahun yang lalu itu. Isinya begitu-begitu saja, tidak ada yang menarik. Oleh sebab itu, aku mengambil buku tahunan sekolahku dan membacanya sekalian mencari nama dan data-data lain ‘pasien’-ku.

Hmmm… coba kulihat sekali lagi wajahnya… Tidak terlalu buruk, apalagi nanti setelah jahitan di kepalanya yang bocor itu nanti dibuka. Aku kembali membuka lembaran-lembaran berikut sampai aku menemukan fotonya yang dicetak setahun yang lalu sewaktu ia masih kelas satu SMA. Namanya Andri Lukito. Tapi, kenapa aku tak pernah melihatnya, ya? Aku yang terlalu sibuk dengan berbagai macam kegiatanku atau dia yang kurang bergaul?

Suara guntur yang tiba-tiba menggelegar mengejutkanku. Kulihat petir menyambar-nyambar di langit yang gelap dari jendela UKS. Kunyalakan lampu ruangan yang saklarnya hanya berada di sebelahku. Waduh, hujannya mengucur deras sekali.

“Ah, sial! Bagaimana aku bisa pulang kalau begini caranya?” omelku. Namun kemudian, aku baru menyadari ada masalah yang lebih besar daripada pulang kehujanan. Mataku terpaku pada jam dinding yang tergantung di seberang kursi yang kududuki. Jarum panjangnya menunjuk ke angka dua sementara jarum pendeknya berada di antara angka tujuh dan delapan. Jam tujuh malam! Mana mungkin?

Merasa tidak percaya dengan jam UKS, aku melirik jam tanganku. Hanya berbeda 2 menit. Wah, benar-benar gila! Aku pasti ketiduran tadi. Tapi tak mungkin tak ada yang membangunkanku. Kecuali…

Cepat-cepat aku berlari ke bagian depan UKS di mana dilokasikan bangsalnya yang kecil. Benar dugaanku! Andri Lukito masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur. Berarti dari tadi tak ada yang menjemputnya. Bu Prita pasti sudah menghubungi keluarganya, aku yakin, tapi kenapa dia masih di sini? Mungkin lebih baik aku menghubungi rumahnya sekali lagi.

Dengan perlahan dan hati-hati, aku merogoh sakunya dan menarik dompetnya keluar. Kuambil kartu pelajarnya dan menemukan telepon rumahnya di sana. Aku pun bergegas untuk berjalan ke telepon umum yang berada di lantai tiga. Betapa terkejutnya diriku menemukan pintu UKS terkunci dari luar.

Wah, gila! Masa dikunci, sih? Apa tak ada yang tahu kalau di dalam sini masih ada orang? Kucoba membukanya sekali lagi dengan tenaga yang lebih besar tapi pintu itu tetap tidak bergeming. Rasanya hari ini begitu banyak kesialan menimpa diriku, mulai dari ulangan Sejarah yang gagal, bolos praktikum Biologi, sampai terkunci di UKS malam-malam begini.

“Pak! Pak Toha!” seruku dari balik pintu, berharap penjaga sekolahku itu belum pulang. “Pak Toha, Nana kekunci di UKS! Pak Toha!”

Ah, sia-sia saja. Gedung sekolah selalu dikunci setelah Maghrib dan mengunci gedung adalah tugas terakhir Pak Toha sebelum ia kembali ke rumahnya yang tak jauh dari lingkungan sekolah. Ia pasti sudah pulang.

Keluargaku di rumah pasti sudah mengkhawatirkan diriku dan keluarga si Andri itu juga harus dikabari tentang puteranya. Aku harus bisa keluar dan menelepon tapi bagaimana? Dalam keputusasaanku, aku berjalan kembali ke tempat Andri berbaring dan duduk di sana.

Yah, setidaknya aku tidak terkunci seorang diri meskipun ditemani orang tak sadar seperti Andri juga tak begitu terasa bedanya. Aku tak dapat mengingkari kalau aku mulai merasa takut. Walau setiap hari aku selalu ke gedung ini, tetapi di malam hari seperti sekarang gedung sekolahku itu terasa begitu asing. Belum lagi cerita-cerita seram yang sering digosipkan murid-murid saat pelajaran kosong. Aku tidak pernah takut mendengarnya dan mungkin juga tidak pernah percaya hingga hari ini…

Hari sudah malam begini dan aku masih terbungkus dalam seragam sekolah yang sama ketika aku meninggalkan rumah. Aku benar-benar merasa tidak betah dan ingin segera pulang. Aku juga yakin kalau si Andri sadar, ia pasti akan minta pulang. Memangnya siapa yang mau menginap di sekolah sendirian? Dibayar satu juta pun aku pasti akan tetap berpikir dua kali.

Di luar hujan masih deras sehingga aku merasa kurang yakin telah mendengar sesuatu. Samar-samar aku mendengar langkah-langkah ringan di dekat koridor yang menuju ke UKS. Suara langkahnya tidak asing di telingaku. Langkahnya sama seperti langkah yang sering kudengar kala jam istirahat di mana begitu banyak murid yang mondar-mandir di koridor. Siapa pun orang itu, ia pasti mengenakan sepatu seragam sekolahku yang meski ringan tapi cukup menyakitkan kaki.

Didorong rasa ingin tahu dan naluri minta diselamatkan, aku berlari ke pintu UKS. Kugeser meja yang penuh majalah di dekat situ ke belakang daun pintu lalu naik ke atasnya supaya aku dapat mengintip melalui celah sempit di bagian atas pintu. Dapat kulihat sesosok siswi berambut sebahu sedang berjalan pelan-pelan menyusuri koridor.

“Hei! Heeei!” panggilku. Aku tak tahu harus memanggilnya dengan apa sebab aku tak tahu siapa dia. “Bisa tolong ke sini sebentar tidak? Aku kekunci di UKS.”

Gadis itu tetap berjalan. Perkataanku bagai angin lalu di telinganya.

Berulang kali aku memanggilnya dengan suara yang lebih keras dan lebih keras lagi tetapi percuma, siswi itu sepertinya tidak peduli akan apa pun kecuali dirinya dan langkahnya yang perlahan itu.

Diriku mulai terbakar emosi. “Hei, Putri!” seruku seperti ketika aku dengan galaknya memanggil salah satu juniorku.

Kakinya berhenti melangkah.

“Ke sini kamu!” lanjutku masih dengan nada yang keras.

Gadis itu menoleh. Aku tak dapat melihat wajahnya karena koridor sangat gelap. Ia memutar tubuhnya dan melangkahkan kakinya sekali ke arahku lalu terdiam sebentar sebelum akhirnya ia mendongakkan kepalanya. Dalam kegelapan malam yang dibayang-bayangi aliran air hujan yang menghujam ke tanah dan petir yang menyambar sesekali, aku dapat melihat matanya yang tertuju ke arahku. Kesedihan dan kebencian terpancar dari kedua bola matanya yang kini dapat kulihat menyala-nyala bagaikan api.

Kontan saja aku berteriak dan melompat mundur dari pintu yang menyebabkan diriku jatuh berdebum ke atas lantai UKS yang dingin. Cepat-cepat aku merangkak mendekati Andri, satu-satunya ‘teman’-ku yang ada saat itu.

Tubuhku gemetar ketakutan sementara keringat dingin mengucur dari dahiku. Aku tak tahu siapa atau apa yang kulihat barusan. Memanggilnya ternyata merupakan kesalahan besar yang kuharap tak pernah kulakukan. Kini aku hanya bisa berdoa dan berharap dalam hati kalau sosok mengerikan itu tidak akan datang ke UKS. Seumur hidup belum pernah aku merasa setakut ini. “Kumohon pergilah… Jangan dekati aku…” gumamku sambil memeluk diriku sendiri erat-erat.

Cukup lama aku menunggu langkahnya menjauh tapi sedikit pun aku tak mendengar sol sepatunya bergesekan dengan lantai. Mati aku kalau ia masih menunggu di koridor, pikirku. Saat itu, aku baru dapat melihat keuntungan dari terkunci di dalam UKS. Dengan demikian ‘dia’ takkan bisa masuk. Tapi ke mana sih orang itu? Koridor begitu sepi.

Masih dalam usaha menenangkan diri, aku mulai berjalan tanpa suara ke arah pintu. Setelah membulatkan tekadku, aku pun kembali naik ke atas meja dan mengintip ke arah koridor.

“Syukurlah…” bisikku lalu menghembuskan napas lega. Tak ada yang tahu betapa senangnya hatiku menemukan koriodor dalam keadaan kosong. Tak ada siapa-siapa di sana. Walaupun aku jadi menyangsikan penglihatanku beberapa waktu yang lalu, aku tidak peduli. Yang penting, aku baik-baik saja dan tak ada pemandangan mengerikan lagi.

Tapi benarkah begitu?

“Aaaaaa!!!” jeritku tak sampai sedetik kemudian.

“Ma… Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu,” kata sosok yang tiba-tiba berada di belakangku ketika aku turun dari meja. Ya, orang itu tak lain adalah Andri.

Dapat kurasakan urat-urat sarafku mengendur dan aliran darahku kembali mengalir. “Aduh… bikin kaget orang saja.” Walau berlagak agak kesal, sebetulnya dalam hati aku lega sekali.

“Iya, maaf.”

“Eh, kok kamu bangun dari tempat tidur? Ayo duduk, nanti kamu pusing,” kataku sambil menarik lengannya dan dengan hati-hati membimbingnya ke kursi terdekat.

“Aku tidak apa-apa. Terima kasih.”

Aku tersenyum. “Ehm… Begini, Andri… Nama kamu Andri ‘kan?”

Siswa yang diperban dahinya itu pun mengangguk.

“Orang tuamu belum jemput. Terus, aku tadi sempat ketiduran, jadi… kita kekunci di sini. Pak Toha kayaknya nggak tau, deh kalau ada orang di UKS. Maaf  ya? Aku ‘nggak sengaja.”

“Jadi sekarang gimana?” tanyanya.

“Nggak tau…” jawabku sambil mengernyitkan dahi, menyadari bahwa jawaban itu hanya akan menambah kerisauan saja.

Andri menunduk setelah mendengar perkataanku. Sepertinya ia kecewa. “Ya sudah. Paling tunggu sampai besok.”

Aku kembali merasa lega karena Andri tidak menyalahkanku atas kesulitan yang menimpanya.

Kami mulai mengobrol. Mulai dari kenapa aku tak pernah melihatnya sampai kejadian mengerikan yang tadi aku alami sebelum ia sadar.

“Orangnya seperti apa?” tanyanya ringan.

“Hmm… yang jelas sih cewek. Rambutnya sebahu. Tingginya kayaknya standar tuh. Aku ‘nggak gitu jelas lihat wajahnya, sih,” jawabku. “Ya, mungkin salah lihat kali.”

“Salah lihat? Enggak lagi.”

Aku mengerutkan kening tanda tak mengerti.

“Yang kamu lihat itu sungguhan. Masa kamu belum pernah dengar ceritanya?”

“Cerita apa? Aku malas dengar gosip horor di kelas waktu jam kosong jadinya aku tidak begitu ingat cerita-ceritanya. Paling aku cuma dengar sambil lalu saja.”

“’Kan ada siswi yang meninggal waktu masa orientasi di sini.”

“Hah? Masa sih? Mana mungkin? Orientasi di sini kan tidak berat.”

“Dulu berat sekali. Sekarang saja jadi ringan.”

“Oh ya? Apa yang terjadi padanya?”

“Katanya dia dihukum terlalu berat oleh seniornya. Pokoknya hukumannya itu benar-benar kelewat batas. Pada dasarnya mental dan fisik anak itu memang lemah, jadinya ya begitu deh.”

“Ooo…” Mengerikan sekali, pikirku. Pantas saja dia menoleh ketika aku memanggilnya dengan sebutan ‘Putri,’ sebutan untuk siswi yang paling umum digunakan para senior saat masa orientasi. Dapat kubayangkan betapa dendamnya ia pada senior-senior yang dulu menghukumnya. Hiiiyyy… aku sampai bergidik sendiri.

Malam semakin larut namun perbincangan kami malah semakin seru.

“Kamu cocok ya jadi anak PMR? Biar rasanya males tapi kamu masih tetap mau bantu. Cepat lagi,” pujian itu terasa aneh di telingaku, mungkin karena kadar ketulusannya yang begitu tinggi.

Aku tersenyum kecut. “Yah… gitu, deh. Kewajiban, sih.”

“Kewajiban? Yakin? Masa iya kalau kewajiban doang kamu semangat banget?”

Kata-kata itu memaksaku terdiam dan berpikir. Tapi, karena aku sedang tidak mau dipusingkan oleh apa pun, aku kembali berbicara. “Ah, sudahlah. Aku udah mau berhenti, kok. Bosan ‘ngurusin orang melulu.”

“Jangan!”

Larangannya itu benar-benar mengejutkanku. Kelihatannya ia begitu tidak ingin aku keluar dari PMR seakan-akan bila aku bukan anggota lagi, ia akan mati. Namun aku tertawa saja, menutupi perasaan bingung yang meliputiku sambil berharap topik PMR itu akan segera berlalu.

“Na!… Na!”

Kubuka mataku sedikit demi sedikit. Bayangan buram yang ada di hadapanku pun berangsur-angsur jelas. “Bu Prita?”

“Ampun deh anak ini. Kamu ketiduran ya, Na?” kata Bu Prita yang kini sedang berdiri di sampingku.

Aku yang masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi hanya bisa diam saja. Kucoba mengingat-ingat apa saja yang telah terjadi padaku kemarin.

“Eh, iya!” seruku sambil berdiri. “Si itu mana?”

“Si itu siapa?”

“Itu, Bu, yang kemarin kepalanya kena kaca di depan kelas 2-2.”

“Kena kaca? Ada juga yang ketabrak pintu. Ya sudah dijemput orang tuanya lah, Na. Kamu tidur terus, sih,” ucap Bu Prita sambil tertawa.

“Ketabrak pintu?… Ah, pokoknya yang kepalanya luka itu loh.”

“Iya, sudah pulang. Dia sudah dijemput. Kamu saja yang kekunci di UKS. Na, Na… kamu itu aneh-aneh aja. Gimana rasanya ‘nginep di sekolahan?”

“Hehehe… lumayan deh, Bu. Untung si Andri belum dijemput kemarin, jadinya kagak sendirian.”

“Andri? Andri sopo?”

“Ya anak yang kemaren kepalanya bocor itu. Andri, Andri Lukito. Ibu gimana, sih?”

Bu Prita terdiam sambil memandangku dengan heran. “Kok Andri, sih? Lha wong namanya Budi.”

“Budi? Ah, Andri, kok.”

Tepat saat itu seorang siswa bersama ibunya datang ke UKS.

“Nah, itu anaknya datang,” kata Bu Prita seraya menyambut kedua tamu itu.

Siswa itu berjalan mendekati diriku. Kulihat wajahnya. Sama sekali tidak mirip Andri, ‘pasien’ yang kurawat kemarin. Kulihat juga perban yang melintang di kepalanya. Luka Andri persis di dahinya tapi yang ini kenapa di atas telinganya?

“Terima kasih banyak, ya? Aku Budi. Kata Bu Prita nama kamu Nana, ya?”

Aku tak dapat mengatakan apa-apa. Lidahku terasa begitu kelu untuk berbicara. Aku tak mengerti. Yang kutolong kemarin itu Andri, bukan Budi. Tapi…

“Na?”

Aku tak bereaksi.

“Aduh, maaf ya, Bud, Bu… Nana kurang tidur dari kemarin. Mungkin masih cape,” kata Bu Prita, mengarangkan alasan atas ketidaksopananku.

Siswa yang mengaku bernama Budi itu pun meninggalkan UKS bersama ibunya.

“Kamu kenapa, Na?” tanya Bu Prita cemas.

Bukannya menjawab, aku malah langsung menyambar buku tahunan sekolahku yang kemarin kubuka. Kucari-cari halaman di mana ada terpampang foto Andri Lukito.

“Ini loh, Bu! Lihat deh! Ini Andri yang kemarin kepalanya bocor,” seruku sambil memperlihatkan foto Andri pada Bu Prita. “Iya, ‘kan? Andri Lukito.” Kutunjuk nama yang tercetak di bawah foto hitam-putih itu dengan jari telunjukku dan langsung merasa menang. Memang jelas-jelas namanya Andri Lukito, kok, pasti Bu Prita yang ngawur.

Bu Prita menggelengkan kepalanya. “Na…”

“Ibu lihat dulu!” potongku. Aku tak mau mendengar perkataannya sebelum ia percaya perkataanku.

“Na!” bentaknya.

Aku tetap tidak mau dengar sampai akhirnya Bu Prita menarik buku tahunan itu dariku dan membuka halaman pertamanya di depan mataku. “Baca, Na! Lihat!”

Angkatan XVI. Tahun 1987. “Tahun delapan tujuh?” Tubuhku langsung merosot ke lantai. Apa maksud semua ini? Apa aku sudah gila? Ya Tuhan, siapa yang kemarin mengobrol semalaman denganku? Kalau biasanya aku mengangkut orang pingsan, kali ini giliranku yang diangkut.

Beberapa hari kemudian, setelah merasa sanggup menerima kejadian aneh itu, aku baru mulai mencari tahu tentang siswa sekolahku yang bernama Andri Lukito dan juga kejadian yang ia ceritakan padaku tentang seorang siswi yang meninggal sewaktu masa orientasi. Aku benar-benar merasa memiliki dorongan tertentu untuk mengetahui kebenaran cerita yang semula kukira hanyalah bualan yang dibuat murid-murid untuk mengisi jam pelajaran kosong.

Ternyata sekolahku memiliki catatan sejarah yang cukup mengerikan. Siswi yang meninggal pada masa orientasi itu bukan gosip tapi kenyataan. Dan Andri Lukito… Dia juga sudah meninggal. Kepalanya tertancap pecahan kaca jendela kelas 2-2 yang dulu merupakan kelasnya. Pada waktu itu, jendela-jendela di sekolahku tidak semungil sekarang dan juga belum diperisai dengan terali besi. Insiden itu terjadi sewaktu kelas lain sedang pelajaran olah raga. Salah satu bola basket yang mereka mainkan secara tidak sengaja memecahkan kaca jendela kelas 2-2 dan mengenai kepala Andri. Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit karena pendarahan yang tidak bisa dihentikan, baik oleh para petugas UKS maupun anggota Palang Merah Remaja yang datang terlambat. Pihak keluarganya menyalahkan kelalaian sekolah, UKS, dan juga PMR. Aku tidak tahu lagi kelanjutan ceritanya tetapi aku sudah cukup mendapat gambaran akan apa yang terjadi pada tahun 1987 di sekolahku itu.

Beristirahatlah dengan tenang Andri… Aku sudah mengerti maksud penampakan dirimu padaku. Aku takkan berhenti dari PMR. Aku tak peduli kalau orang-orang menyamakan aku dengan ibuku, yang penting aku dapat berguna bagi orang lain. Setidaknya aku takkan membiarkan siapa pun mengalami pendarahan sampai meninggal, tidak bila aku masih sanggup menolongnya.

Kurasa ia benar… Bagiku semua itu bukanlah hanya sekadar kewajiban meski ribuan kali aku menyangkalnya. Sampai kapan pun aku takkan pernah pensiun karena aku sadar bahwa kepalangmerahan telah merasuk dalam jiwaku. Ya, untuk selamanya…

Gadis Super???

Sebuah piring berisi bihun goreng melayang ke arahku. Dengan gesit aku langsung menunduk dan perkakas dapur tante kantin itu pun pecah berantakan.

“Siapa, sih? Goblok banget!” seruku yang merasa terganggu sambil melihat ke sekelilingku. Mungkin kalian berpikir kalau aku akan mencari kambing hitam tapi tidak, aku bukan tipe orang yang suka mencari keributan, aku hanyalah orang yang tidak suka diganggu.

Tak ada yang berniat menjawab pertanyaanku itu sepertinya. Yah, terserahlah…

Tanpa peduli apa-apa lagi, aku menaruh nampanku di atas sebuah meja kosong lalu duduk. Baru saja aku hendak makan bakso-ku yang hampir mendingin ketika aku menyadari apa yang sedang terjadi.

Tak jauh dari tempatku bertengger, seorang siswi yang nampaknya masih baru tengah terduduk di lantai dengan wajah tak berdaya sementara di sekelilingnya berdiri tiga siswi yang jelas merasa lebih senior. Tak perlu diragukan lagi kalau bihun goreng bertabur bakso dan ayam yang tadi nyaris singgah di kepalaku itu miliknya.

Yah, beginilah sekolahku yang butut itu. Senioritas sangat dijunjung tinggi sehingga para senior dibiarkan berkuasa dengan bebas. Namun, meski aku hanya siswi tingkat dua, aku tidak takut dengan para senior yang kuanggap hanya berani jika berkelompok saja. Memangnya apa yang membuat mereka merasa diri lebih hebat dari yang lain? Aku sama sekali tidak melihat apa istimewanya dengan bergerombol di sekolah dan mengganggu anak-anak junior terutama yang baru masuk tahun ajaran ini.

Maaf, Bu Kepala Sekolah, tapi ini tetap harus kuulangi… Aku bangkit dari kursiku. “Hei! Hobi amat sih ‘ngeganggu orang?”

Kali ini seruanku mendapat perhatian dari seisi kantin yang langsung melirik ke arahku. Semua kasak-kusuk langsung hilang. Ketiga seniorku itu pasti sudah bosan berurusan denganku di kantor kepala sekolah, sama seperti halnya diriku sebetulnya, tapi apa boleh buat?

“Heh, Lena! Kita ‘gak ada urusan sama loe! Makan aja tuch bakso!” kata salah satu dari mereka yang bernama Dina.

Aku menghembuskan napas pendek kemudian berjalan santai mendekati mereka.

“Lain kali kalo ‘gak mau ada urusan, ‘ngelempar bihun gorengnya pake mata dikit yah?” kataku ketika aku sudah hadap-hadapan dengan Dina, Lisa dan Henny, tiga senior yang lebih suka kupanggil “Trio Resek.”

Kubantu anak malang itu untuk berdiri. Kasihan betul sih… sampai gemetaran begitu. “Bihunnya beli lagi deh, ya? Masih keburu, kok. Belnya suka telat,” ucapku sambil terseyum lebar.

Gadis itu hanya bisa mengangguk lalu berlalu. Ia benar-benar ketakutan.

“’Gak ada urusan, ‘kan? Gua juga ‘gak ada. Daaah…”

“Eh, tunggu! Mau ke mana loe?!”

“Mau makan bakso,” ucapku ringan. Aku pun berjalan pergi.

Saat sekolah bubar, gadis yang tadi diganggu di kantin datang menghampiriku untuk mengucapkan terima kasih.

“Ah, ‘gak pa-pa, kok. Nyantai aja lagi,” kataku.

“Gimana tuh kalau misalnya mereka ‘ngejar kamu? Bisa berantem, ‘kan?”

Aku tertawa. “Kejar aja kalau berani. Aku sih ‘gak masalah keluar-masuk ruang kepsek, tapi mereka ‘kan sudah mau lulus. Jadi, kalau mereka pintar, lebih baik jangan cari masalah dulu.”

Siswi baru itu tersenyum. “Oh ya, namamu siapa? Aku Lucy.”

“Magdalena, panggil aja Lena.”

Yah, itulah awal persahabatanku dengan Lucy, anak cengeng yang selalu nampak tidak berdaya. Tapi, aku betul-betul salah jika mengira ketidakberdayaannya itu takkan menyakitiku, justru itulah yang paling mampu menggoresku pada akhirnya…

Lena anak pintar, Lena anak berbakat, Lena anak kuat. Ia pasti bisa mengatasi segalanya. Itulah anggapan semua orang terhadap diriku. Orang tuaku, saudara-saudariku, teman-temanku, semuanya beranggapan sama. Aku tumbuh menjadi gadis yang kuat, lebih kuat dari yang semestinya mungkin. Secara fisik aku memiliki stamina yang cukup baik untuk berprestasi dalam cabang-cabang olahraga dan secara mental aku memiliki ketahanan terhadap “penyakit-penyakit hati” yang besar. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku menangis. Sampai detik ini, aku tak pernah terlibat masalah yang tidak mampu aku lewati, baik itu masalah nilai, lingkungan sekolah maupun asmara.

Ha-ha… sebaiknya untuk hal yang ketiga itu tak perlu kusebut sebab kurang relevan mengingat aku hanya pernah jatuh cinta dengan satu orang. Petrus, hanya dia-lah yang kusuka dalam hidupku ini. Ia sahabatku dari kecil. Kami sudah lama sekali berteman dan mungkin itulah sebabnya aku bertepuk sebelah tangan. Ia sudah menganggapku sebagai saudaranya sendiri daripada sebagai teman istimewanya.

Sabtu itu, sekolahku mengadakan kompetisi perahu dayung antar kelas. Aku dan Lucy mewakili anak-anak kelas dua mengingat peminatnya hampir tidak ada. Aku tidak mahir dalam cabang ini, apalagi Lucy, jadi kami berdua hanya bisa pasrah pada nasib.

Benar saja, di tengah danau, perahu kami mulai tidak seimbang dan kami pun tercebur. Siswa-siswi lain di pinggir danau mulai berteriak panik menyuruh orang-orang untuk menolong kami, meskipun kupikir tak perlu sehisteris itu. ‘Kan hanya air, lagipula ini ‘kan di danau belakang sekolah yang sama sekali tak ada buayanya atau ular air, aku bahkan ragu ada ikan di situ.

Berbeda dengan diriku yang tenang-tenang saja, Lucy benar-benar panik walaupun pelampung jingga melekat di dadanya. Aku mencoba menenangkannya dan mengajaknya berenang perlahan-lahan bersamaku ke tepian.

“Lena, aku takut sekali, aku takut, aku tak mau tenggelam, Lena, tolong,” rengeknya.

“Kau takkan tenggelam, Lucy, kau ‘kan pakai pelampung. Penakut amat sih!”

“Oh, kuharap aku bisa seberani kau, Lena…”

Aku tak menjawab lagi sebab seseorang telah berenang mendekat. Ya, tak lain dan tak bukan, ia-lah Petrus. Jika ada orang yang berinisiatif cepat di sekolah, Petrus-lah orangnya. Itu yang membedakannya dengan siswa-siswa lain. Dan karena itu pulalah, aku memandangnya dengan cara yang berbeda dari yang seharusnya.

“Kau tak apa-apa, Lus?” tanyanya pada Lucy.

Gadis itu menggangguk-angguk.

“Ayo, kubantu kau ke tepi,” ucapnya sambil melingkarkan tangannya di tubuh Lucy, membantunya berenang ke tepian, sementara aku ditinggalkan sendiri.

“Tak apa-apa, aku sanggup berenang ke tepian sendiri tanpa bantuan siapa pun,” bisikku pada diriku sendiri.

Dalam hati aku sedih sekali. Kenapa hanya Lucy yang ditanyakan keadaannya? Meskipun aku tidak apa-apa, ‘kan tidak tertutup kemungkinan kalau aku tidak baik-baik saja. Curang! Ini tidak adil! Sekuat apa pun diriku, aku juga tetap seorang gadis yang mungkin membutuhkan perhatian atau bantuan dari seorang laki-laki, apalagi kalau laki-laki yang dimaksud adalah Petrus.

Hubungan Lucy dan Petrus semakin akrab saja. Aku tahu Petrus pasti punya perasaan lain terhadap Lucy, aku dapat merasakannya. Yah, walau Lucy tak ada pun, dia tetap takkan berpaling padaku, aku bukan seleranya, aku tak butuh dilindungi, aku bisa mengatasi semuanya sendiri…

Ketika mereka berdua mulai berpacaran, ingin sekali rasanya aku menangis, tapi tak setetes air mata pun keluar. Kenapa? Aku tak pernah minta untuk dijadikan kuat seperti ini. Aku tak pernah menuntut untuk bisa mandiri. Orang lain mungkin melihat apa yang kumiliki sebagai suatu berkah. Kalau saja mereka tahu apa konsekuensinya memiliki berkat-berkat seperti diriku. Saat itu kukutuk semua kelebihan yang kumiliki. Aku ingin jadi lemah, aku ingin jadi manja, aku ingin butuh ditolong, aku ingin!!! Salahkah aku bila menginginkannya?

Ya Tuhan, aku bosan… Aku lelah menjadi orang kuat. Aku ingin jadi orang yang tak bisa apa-apa saja jika itu yang diperlukan untuk mendapatkan hati Petrus. Tapi, kenapa aku tak bisa?

Aku ingin jatuh tersuruk dan diam di sana selamanya. Aku ingin tahu apa rasanya bila semua beban di bahuku diangkat. Aku ingin tahu bagaimana rasanya jadi orang yang bergantung dan bukan yang digantungi. Katakan semua ini manusiawi…

Aku tersakiti, bukan? Tapi mengapa rasanya begitu semu? Aku hampir tak dapat merasakannya, di manakah luka itu? Huhhh… lelah sekali rasanya…

“Len, kamu jaga rumah, ya? Kalau sepi, ajak Petrus datang saja,” kata ibuku sesaat sebelum ia pergi bersama dengan ayah dan adik laki-lakiku ke rumah nenek.

Pamanku akan menikah setelah sekian lama mencari pasangan hidup yang cocok untuknya. Semoga saja pilihannya benar. Aku turut berbahagia untuknya, tapi sayang sekali, aku tak bisa hadir di pestanya. Hari senin aku mulai ujian akhir. Jadi, dengan sangat amat terpaksa aku harus ditinggal sendiri di rumah.

Biasanya kalau aku sendiri di rumah, Petrus selalu menemaniku. Keluargaku sudah kenal baik dengannya dan juga keluarganya. Yah, kami memang sudah seperti keluarga. Tapi, kini ia sudah ada Lucy. Ia tidak bisa seperti Petrus yang dulu yang selalu bisa menemaniku. Aku juga tahu diri. Aku takkan memintanya datang.

“Ah, kenapa sih Mama mengingatkanku untuk mengajaknya datang?” ucapku kesal pada diriku sendiri. Kalau tidak disebut-sebut ‘kan aku takkan memikirkannya, aku bisa memendam diriku dalam pelajaran-pelajaranku yang besok lusa akan diujikan. Oh, Petrus… tahukah kau kalau aku sedang memikirkanmu?

Bayangan tentang dia sedang belajar bersama Lucy sedangkan aku berkutat sendiri dengan tumpukan buku di meja belajarku yang lampunya sudah mulai meredup membuatku merasa sedih sekali. Kujatuhkan pensilku di atas buku catatan Fisika-ku lalu kutinggalkan meja belajar itu. Pikiranku terlalu kacau untuk bisa berkonsentrasi, lebih baik aku tidur saja.

Berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan kaset-kaset yang ada di kamarku ternyata tidak berhasil. Aku tidak bisa tidur dan pikiranku juga tidak menjadi lebih tenang. Ya ampun! Apa yang terjadi pada diriku?

I try but I can’t seem to get myself to think of anything… but you…

Tanpa kusadari tetes-tetes air mataku merebak dan tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya. Mengapa lirik lagu “I Wanna Be with You”-nya Mandy Moore yang biasa sering kulantunkan bersama teman-temanku dengan wajah berseri kini malah memancingku untuk menangis lebih banyak?

I wanna be with you… if only for a night… to be the one who’s in your arms, who holds you tight… I wanna be with you…

Kuremas bantal yang sedang kupeluk. Ya Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku? Aku ingin berada di posisi Lucy sekarang. Aku ingin bisa memiliki Petrus, aku ingin disayang olehnya dengan cara yang berbeda… Aku hanya ingin ia juga memiliki perasaan yang sama denganku, itu saja. Tak bisakah ia mencintaiku sedikit saja? Separuh saja dari yang ia berikan pada Lucy. Aku akan cukup senang.

Air mataku mengalir semakin deras. Beginikah rasanya bila patah hati? Sekarang aku tahu… Kalian lihat? Aku tak sekuat yang kalian bayangkan selama ini. Jadi, kumohon jangan menganggapku seperti gadis super yang mampu menahan semuanya. Aku tidak sanggup…

“Menangislah, Lena… Menangislah sampai air matamu mengering. Keluarkan semua yang selalu kausimpan dalam hati, keluarkan semua… Jangan sisakan sedikit pun kesedihan dan kepedihan yang sudah terpendam lama sekali,” kataku dalam hati. Esok segalanya akan menjadi lebih baik…

Pengumuman kenaikan kelas pun tiba. Aku sedang mencari-cari namaku di setiap daftar nama yang tertempel di pintu-pintu kelas ketika Petrus dan Lucy datang mengejutkanku.

“Lena!” panggil Lucy yang terlihat sangat gembira. “Kita sekelas lho! 3 IPA 2!”

“Oh ya? Masa? Asik, donk! Terus elo, Pet?” tanyaku.

“Gua misah sendirian, nich. Jahat loe orang,” jawab Petrus yang nampaknya tidak puas dengan pembagian kelas yang telah diatur para dewan guru.

Aku dan Lucy tertawa. “Emang enak…”

Ya, aku siap memulai tahun ajaran baru dengan tantangan-tantangannya yang baru. Masalah Petrus dan Lucy, kurasa itu semua sudah menjadi kisah lama yang akan terus kusimpan sampai hatiku kembali terbuka untuk orang lain. Aku sudah merasa cukup dengan keadaan yang sekarang. Dan, aku yakin aku akan dapat mengatasi perasaanku terhadap Petrus, lagipula aku ini anak kuat ‘kan?